Pages

PIDATO BAHASA INDONESIA

GLOBALISASI

Bapak Kepala SMA N 1 Pengasih yang saya hormati,

Bapak/Ibu Guru beserta staf karyawan/karyawati yang saya hormati,

Teman-teman semua yang berbahagia,

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala karunia-Nya sehingga kita dapat berkumpul di tempat ini.

Pada kesempatan ini, saya akan menyampaikan tentang globalisasi. Saya ingin mengajak semua pendengar untuk mengingat kembali beberapa pola hidup yang kita lakukan dari penyebab globalisasi.

Globalisasi berarti proses mendunia. Semua merasakan pengaruhnya. Misalnya, di bidang transportasi. Setiap hari kita dapat melihat seluruh jalan raya dipadati oleh berbagai jenis kendaraan. Selain di bidang transportasi, aspek kehidupan yang terkena dampak globalisasi adalah telekomunikasi. Dan yang tak kalah penting, aspek kehidupan yang juga merasakan adalah fashion. Saat ini tren yang mendunia adalah negara-negara barat.

Jelas bahwa globalisasi sangat berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan. Kita harus bisa mengambil nilai-nilai positif dan membuang nilai-nilai negatifnya. Misalnya, dengan menyeleksi budaya asing yang masuk ke dalam negeri kita.

Jadi, ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menghadapi pengaruh globalisasi. Kita boleh merasakan pengaruhnya, namun kita harus mengambil dampak positifnya dan membuang dampak negatifnya.

Semoga apa yang telah saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua. Saya harap dengan adanya globalisasi semua orang dapat mengambil nilai positifnya.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, saya mohon maaf jika ada tutur kata yang tidak berkenan di hati.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

PIDATO BAHASA INDONESIA

GLOBALISASI

Bapak Kepala SMA N 1 Pengasih yang saya hormati,

Bapak/Ibu Guru beserta staf karyawan/karyawati yang saya hormati,

Teman-teman semua yang berbahagia,

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Puji syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas segala karunia-Nya sehingga kita dapat berkumpul di tempat ini.

Pada kesempatan ini, saya akan menyampaikan tentang globalisasi. Saya ingin mengajak semua pendengar untuk mengingat kembali beberapa pola hidup yang kita lakukan dari penyebab globalisasi.

Globalisasi berarti proses mendunia. Semua merasakan pengaruhnya. Misalnya, di bidang transportasi. Setiap hari kita dapat melihat seluruh jalan raya dipadati oleh berbagai jenis kendaraan. Selain di bidang transportasi, aspek kehidupan yang terkena dampak globalisasi adalah telekomunikasi. Dan yang tak kalah penting, aspek kehidupan yang juga merasakan adalah fashion. Saat ini tren yang mendunia adalah negara-negara barat.

Jelas bahwa globalisasi sangat berpengaruh pada seluruh aspek kehidupan. Kita harus bisa mengambil nilai-nilai positif dan membuang nilai-nilai negatifnya. Misalnya, dengan menyeleksi budaya asing yang masuk ke dalam negeri kita.

Jadi, ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menghadapi pengaruh globalisasi. Kita boleh merasakan pengaruhnya, namun kita harus mengambil dampak positifnya dan membuang dampak negatifnya.

Semoga apa yang telah saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kita semua. Saya harap dengan adanya globalisasi semua orang dapat mengambil nilai positifnya.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, saya mohon maaf jika ada tutur kata yang tidak berkenan di hati.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

PIDATO BAHASA INDONESIA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Yang terhormat Ibu Susiana selaku Kepala SMP Negeri 2 Jombang, Bapak dan Ibu guru yang saya hormati, beserta teman-teman yang saya cintai.
Marilah kita ucapkan puji syukur kepada Allah SWT, karena atas limpahan rahmat-Nya, kita dapat berkumpul di sini dalam keadaan sehat.
Teman-teman yanUkuran hurufg berbahagia, pada kesempatan kali ini saya akan menjelaskan tentang “Hari Kebangkitan Nasional” yang jatuh pada tanggal 20 Mei.
Teman-teman yang saya sayangi, bangsa kita mulai bangkit pada tanggal 20 Mei 1908. Untuk pertama kalinya, muncul suatu organisasi modrn yang menumbuhkan semangat nasionalisme, yaitu Budi Utomo.
Teman-teman yang berbahagia, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang luar biasa. Ia tumbuh bukan atas dasar etnis maupun kedaerahan.ia adalah suatu kesatuan sebagai bangsa Indonesia yang berasal dari berbagai suku. Dari sinilah muncul Bhinneka Tunggal Ika.
Teman-teman, kita mampu berdiri tegak di sini karena kita mampu bersatu sebagai bangsa, sebagai saudara. Itulah luhurnya semangat nasionalisme Indonesia.
Teman-teman yang saya cintai, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Hari Kebangkitan Nasional adalah hari lahirnya semangat kebangsaan dan kesatuan Indonesia. Saya berharap penjelasan singkat saya tadi dapat memperkuat semangat kesatuan kita sehingga bangsa kita bisa menjadi lebih baik.
Demikian pidato singkat saya. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya apabila ada kata yang salah. Terimakasih atas perhatiannya.

Wassalamualaikum Wr. Wb

PIDATO BAHASA INDONESIA

CONTOH PIDATO HARI PENDIDIKAN NASIONAL
Saudara-saudara sekalian ! Yang saya hormati Dosen Stai Darul Qalam Drs. Habibullah .Yang saya hormati mahasiswa/ mahasiswi Stai Darul Qalam .Alangkah bahagianya saya selaku menjabat sebagai ibu kepada Negara Indonesia, pada hari ini ! pada hari ini, kita merayakan hari pendidikan Nasional, yang bertempat dilapangan Istana Bogor pada tanggal 2 Mei 2007. Dengan memperingati Pendidikan Nasional semoga kita lebih semangat /bangkit untuk memajukan dan mencerdaskan pendidikan anak-anak bangsa agar berguna bagi bangsa, Negara dan Agama.Pertambahan anak umur sekolah yang cepat dan pertambahan lulusan tiap jenjang pendidikan yang besar, tapi tidak diikuti penambahan prasarana dan sarana pendidikan yang cepat dan memadai, menimbulkan masalah bagi pemerintah untuk memberikan “pendidikan dan pengajaran” pada semua warga Negara sebagaimana diamanatkan oleh undang- undang Dasar.

Persoalan ini krusial mengingat beragamanya geografis nusantara yang luas dan terpencar dengan tingkat perkembangan sosial-ekonomi-kultural berbeda. Ketika itu untuk pertama kali pelaksanakan REPELITA dengan tekanan pada pembangunan ekonomi yang dipandang sebagai landasan bagi aspek- aspek lain dari pembangunan nasional.

Dalam pembaruan pendidikan perhatian difokuskan pada upaya-upaya perbaikan dan peningkatan kualitas serta penataan kesempatan mendapat pendidikan. Mengenai yang terakhir ini sulitlah dicapai bila hanya melalui cara-cara konvesial yaitu memanfaatkan teknologi komunikasi dan teknologi ,informasi radio dan televisi. Pada tahun 2007 pemerintah telah menetapkan APBN untuk pendidikan sebesar 20% bagi SD, SLTP dan SLTA. Program dan kegiatan yang dilakukan tidak semata-mata atas dasar pertambahan jumlah gedung sekolah, guru, buku dan lain-lain. Alternatif yang didentifikasikan adalah :

1. Penambahan daya tampung SLP yang dilakukan baik dengan penambahan sekolah baru
2. Peningkatan daya tampung sekolah- sekolah swasta
3. Pengembangan sekolah terbuka dengan media korespodensi, modul, siaran radio, siaran televisi dan lain-lain
4. Pembukaan kursus- kursus ketrampilan praktis diluar sekolah sebagai jalur penyaluran kemasyarkat..

Ki Hajar Dewantara (1889-1959) seorang tokoh pendidikan Indonesia yang memprokarsai berdirinya lembaga pendidikan Taman siswa. Dia lebih terkenal dengan filsafat” tut wuri handayani, hing madya mangun karsa, hing ngarso sung tulada. Dewantara mengklasifikasikan tujuan pandidikan dengan istilah “ tri-nga”(tiga “nga-nga adalah huruf terakhir dalam abjad jawa ajisak). “Nga” pertama adalah ngerti” (memahami /aspek intelektual). “Nga kedua” adalah “ngrasa” adalah (merasakan aspek afeksi), dan “nga” ketiga adalah “nglakonin” (mengajarkan atau aspek psikomotorik).

Merumuskan tujuan pendidikan yang meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Menurut Dewantara, adalah hak tiap orang untuk mengatur diri sendiri, oleh karena itu pengajaran harus mendidik anak menjadi manusia yang merdeka batin, pikiran, dan tenaga. Pengajaran jangan terlampau mengutamakan kecerdasan pikiran karena hal itu dapat memisahkan orang tepelajar dengan rakyat.Akhir sampai disini, semoga bangsa Indonesia lebih meningkatkan dan mencerdaskan serta menciptakan anak-anak didik yang produktif, kreatif, dan inovatif yang berguna bagi bangsa dan Negara, Menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas dan mandiri yang dapat memenuhi kebutuhan global.

PIDATO BAHASA INDONESIA

Contoh Pidato - Artikel berikut akan memberikan beberapa contoh naskah pidato. Tapi sebelumnya, tak ada salahnya mengenal terlebih dahulu apa sih pengertian pidato itu ?

Menurut wikipedia berbahasa indonesia pengertian Pidato adalah sebuah kegiatan berbicara di depan umum atau berorasi untuk menyatakan pendapatnya, atau memberikan gambaran tentang suatu hal. Pidato biasanya dibawakan oleh seorang yang memberikan orasi-orasi, dan pernyataan tentang suatu hal/peristiwa yang penting dan patut diperbincangkan.

Dan fungsi dari Pidato adalah untuk :

* Mempermudah komunikasi antar atasan dan bawahan.
* Mempermudah komunikasi antar sesama anggota organisasi.
* Menciptakan suatu keadaan yang kondusif dimana hanya perlu 1 orang saja yang melakukan orasi/pidato tersebut.
* mempermudah komunikasi.


Contoh Pidato Hari Kemerdekaan 17 Agustus

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Yang terhormat Bapak Kepala Kelurahan ….
Yang terhormat Bapak Ketua RW ….
Yang terhormat Bapak Ketua RT ….
Dan hadirin sekalian yang kami muliakan!

Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Marilah kita panjatkan puji syukur kehadirat Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya, pada hari ini kita semua masih diberi kesempatan untuk ikut serta memeriahkan acara hari ulang tahun kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang ke-65 dalam keadaan sehat wal-afiat.

Selanjutnya dengan memperingati hari ulang tahun kemerdekaan kita ini kami berharap, semoga kita lebih meningkatkan rasa cinta kita pada tanah air dan bangsa, lebih meningkatkan daya juang kita terhadap bangsa dan negara, lebih mempersatukan jiwa dan segenap raga kita untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa.

Hadirin sekalian yang berbahagia, jika kita kenang perjuangan para pahlawan tahun 1945 maka terlintas jelas di benak kita bahwa semangat pertempuran yang bagaikan api yang tak kunjung padam itu begitu hebat menyatu pada jiwa para pahlawan pejuang 45 itu. Namun demikian tak kalah pentingnya dengan peran kita semua sekarang ini. Perjuangan belumlah selesai. Korban telah banyak berjatuhan maka marilah kita tingkatkan terus jiwa dan semangat 45, dengan mewujudkan jiwa pembangunan yang tangguh.

Kemakmuran berdasarkan keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa belum kita capai. Untuk itu masih banyak yang harus kita perjuangkan. Kemerdekaan sebagai warisan para pahlawan kita ini hendaknya kita isi dengan jiwa pembangunan tanpa mengenal kepentingan pribadi terlebih dahulu.

Jiwa dan semangat 45 ialah jiwa dan semangat kebersamaan. Jiwa yang mendahulukan kepentingan bersama di atas kepentingan golongan. Untuk itu pula maka kita wajib menigkatkan rasa solidaritas berbangsa dan bernegara. Persatuan dan kesatuan nasional lebih di atas kepentingan kita secara pribadi dan golongan. Tumbuhkan terus semangat kebersamaan dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan.

Insya Allah harapan bangsa Indonesia mencapai kehidupan yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dengan ridla Allah Subhanahu wa Ta’ala tercapai dengan menumbuhkan semangat persatuan dan kesatuan nasional Indonesia. Amin, amin, yaa robbal ‘alamin.

Akhirul kata, selamat berjuang, selamat membangun bangsa dan negara kita tercinta ini.

Dirgahayu Indonesiaku! Merdeka!
Wassalamualikum warahmatullahi wabarakaatuh

PEMUDA DAN MAHASISWA INDONESIA, OPTIMISME MENUJU PENCERAHAN MASA DEPAN BANGSA

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas limpahan nikmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusuna makalah ini.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Kewarganegaraan. Adapun isinya bertemakan “Peranan Mahasiswa dalam Rangka Mempertahankan Keutuhan NKRI”. Dari tema yang telah ditentukan, penulis mencoba untuk mengkaji tema tersebut lebih khusus di bidang ………. Dalam penyusunan makalah ini, penulis mengkaji dan mentelaah beberapa buku referensi serta melakukan browsing di internet.

PEMUDA DAN MAHASISWA INDONESIA,
OPTIMISME MENUJU PENCERAHAN MASA DEPAN BANGSA

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

TEKAD UNTUK OPTIMIS

Kaum muda Indonesia adalah masa depan bangsa. Karena itu, setiap pemuda Indonesia, baik yang masih berstatus sebagai pelajar, mahasiswa, ataupun yang sudah menyelesaikan pendidikannya adalah aktor-aktor penting yang sangat diandalkan untuk mewujudkan cita-cita pencerahan kehidupan bangsa kita di masa depan. “The founding leaders” Indonesia telah meletakkan dasar-dasar dan tujuan kebangsaan sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Kita mendirikan negara Republik Indonesia untuk maksud melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukankesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-cita tersebut, bangsa kita telah pula bersepakat membangun kemerdekaan kebangsaan dalam susunan organisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Hukum yang bersifat demokratis (democratische rechtsstaat) dan sebagai Negara Demokrasi konstitutional (constitutional democracy) berdasarkan Pancasila.
Dalam upaya mewujudkan cita-cita itu, tentu banyak permasalahan, tantangan, hambatan, rintangan, dan bahkan ancaman yang harus dihadapi. Masalah-masalah yang harus kita hadapi itu beraneka ragam corak dan dimensinya. Banyak masalah yang timbul sebagai warisan masa lalu, banyak pula masalah-masalah baru yang terjadi sekarang ataupun yang akan datang dari masa depan kita. Dalam menghadapi beraneka persoalan tersebut, selalu ada kecemasan, kekhawatiran, atau bahkan ketakutan-ketakutan sebagai akibat kealfaan atau kesalahan yang kita lakukan atau sebagai akibat hal-hal yang berada di luar jangkauan kemampuan kita, seperti karena terjadinya bencana alam atau karena terjadinya krisis keuangan di negara lain yang berpengaruh terhadap perekonomian kita di dalam negeri.
Dalam perjalanan bangsa kita selama 100 tahun terakhir sejak kebangkitan nasional, selama 80 tahun terakhir sejak sumpah pemuda, selama 63 tahun terakhir sejak kemerdekaan, ataupun selama 10 tahun terakhir sejak reformasi, telah banyak kemajuan yang telah kita capai, tetapi masih jauh lebih banyak lagi yang belum dan mesti kita kerjakan. Saking banyaknya permasalahan yang kita hadapi, terkadang orang cenderung larut dalam keluh kesah tentang kekurangan, kelemahan, dan ancaman-ancaman yang harus dihadapi yang seolah-olah tidak tersedia lagi jalan untuk keluar atau solusi untuk mengatasi keadaan.
Lebih-lebih selama 4 tahun terakhir ini, demikian banyak bencana yang datang bertubi-tubi, baik karena faktor alam maupun karena faktor kesalahan manusia. Bencana alam seperti tsunami di Aceh dan Nias dipandang sebagai bencana kemanusiaan yang tergolong sangat luar biasa skalanya dalam sejarah umat manusia. Bencana tsunami itu disusul pula oleh berbagai gempa bumi di berbagai daerah dan meletusnya Gunung Merapi yang juga menimbulkan banyak korban di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Segala jenis bencana alam tersebut tentunya juga sangat berpengaruh terhadap kondisi perekonomian rakyat, tidak saja di daerah bencana, tetapi juga secara luas di seluruh Indonesia.
Namun, belum lagi usai pahit getirnya akibat bencana-bencana tersebut sekarang muncul lagi bencana baru berupa ancaman krisis perekonomian sebagai akibat terjadinya krisis keuangan dan Amerika Serikat. Tidak realistis untuk menganggap bahwa krisis keuangan di Amerika Serikat itu tidak akan berpengaruh ke dalam perekonomian bangsa kita di Indonesia. Tidaklah bertanggungjawab jika kita hanya berpangku tangan atau bersikap tidak perduli, meskipun kita juga tidak boleh menjadi panik sebagai akibat gejolak yang sedang terjadi di dunia.
Di samping perkembangan yang bersifat eksternal tersebut di atas, kita pun perlu terus mencermati dinamika perkembangan politik, ekonomi, dan sosial budaya di daerah-daerah dan di tingkat nasional kita sendiri. Perkembangan kegiatan berpemerintahan dan bernegara setelah sepuluh tahun terus menerus bergerak cepat, memerlukan langkah-langkah konsolidasi yang tersistematisasikan. Berbagai fungsi yang bersifat tumpang tindih perlu ditata ulang. Berbagai kegiatan yang alfa dikerjakan, perlu ditangani dengan cara yang lebih baik.
Penting bagi kita semua, terutama kaum muda Indonesia, membiasakan diri yaitu untuk mengerjakan apa saja yang semestinya kita kerjakan guna memperbaiki keadaan dan meningkatkan produktifitas kita sebagai bangsa dan negara. Setiap anak bangsa perlu bertekad melaksanakan tugas dan kewajiban masing-masing melebihi apa yang seharusnya dikerjakan, dengan hanya mengambil hak tidak melebihi hak yang memang seharusnya diterima.

MENGASAH KEMAMPUAN REFLEKTIF

Dalam mengembangkan perannya, kaum muda Indonesia perlu mengasah kemampuan reflektif dan kebiasaan bertindak efektif. Perubahan hanya dapat dilakukan karena adanya agenda refleksi (reflection) dan aksi (action) secara sekaligus. Daya refleksi kita bangun berdasarkan bacaan baik dalam arti fisik melalui buku, bacaan virtual melalui dukungan teknologi informasi maupun bacaan kehidupan melalui pergaulan dan pengalaman di tengah masyarakat. Makin luas dan mendalam sumber-sumber bacaan dan daya serap informasi yang kita terima, makin luas dan mendalam pula daya refleksi yang berhasil kita asah. Karena itu, faktor pendidikan dan pembelajaran menjadi sangat penting untuk ditekuni oleh setiap anak bangsa, terutama anak-anak muda masa kini.

MEMBANGUN KEBIASAAN BERTINDAK

Di samping kemampuan reflektif, kaum muda Indonesia juga perlu melatih diri dengan kebiasaan untuk bertindak, mempunyai agenda aksi, dan benar-benar bekerja dalam arti yang nyata. Kemajuan bangsa kita tidak hanya tergantung kepada wacana, ‘public discourse’, tetapi juga agenda aksi yang nyata. Jangan hanya bersikap “NATO”, “Never Action, Talking Only” seperti kebiasaan banyak kaum intelektual dan politikus amatir negara miskin. Kaum muda masa kini perlu membiasakan diri untuk lebih banyak bekerja dan bertindak secara efektif daripada hanya berwacana tanpa implementasi yang nyata.

MELATIH KEMAMPUAN KERJA TEKNIS

Hal lain yang juga perlu dikembangkan menjadi kebiasaan di kalangan kaum muda kita ialah kemampuan untuk bekerja teknis, detil atau rinci. “The devil is in the detail”, bukan semata-mata dalam tataran konseptual yang bersifat umum dan sangat abstrak. Dalam suasana sistim demokrasi yang membuka luas ruang kebebasan dewasa ini, gairah politik di kalangan kaum muda sangat bergejolak. Namun, dalam wacana perpolitikan, biasanya berkembang luas kebiasaan untuk berpikir dalam konsep-konsep yang sangat umum dan abstrak. Pidato-pidato, ceramah-ceramah, perdebatan-perdebatan di ruang-ruang publik biasanya diisi oleh berbagai wacana yang sangat umum, abtrask dan serba enak didengar dan indah dipandang. Akan tetapi, semua konsep-konsep yang bersifat umum dan abstrak itu baru bermakna dalam arti yang sebenarnya, jika ia dioperasionalkan dalam bentuk-bentuk kegiatan yang rinci.
Sebaiknya, kaum muda Indonesia, untuk berperan produktif di masa depan, hendaklah melengkapi diri dengan kemampuan yang bersifat teknis dan mendetil agar dapat menjamin benar-benar terjadinya perbaikan dalam kehidupan bangsa dan negara kita ke depan. Bayangkan, jika semua anak muda kita terjebak dalam politik dan hanya pandai berwacana, tetapi tidak mampu merealisasikan ide-ide yang baik karena ketiadaan kemampuan teknis, ketrampilan manajerial untuk merealisasikannya, sungguh tidak akan ada perbaikan dalam kehidupan kebangsaan kita ke depan.

PEMUDA, MAHASISWA DAN KESADARAN BERKONSTITUSI

Sekarang ini kita berada dalam suasana memperingati semangat sumpah pemuda yang dikumandangkan pada tahun 1928, delapan puluh tahun yang silam. Sebagai anak bangsa kita telah bersumpah setia untuk bersatu nusa, bersatu bangsa, dan berbahasa persatuan bahasa Indonesia. Ada kekeliruan dalam kita memahami makna persatuan itu, yaitu seakan-akan bersatu dalam uniformitas, termasuk dalam soal bahasa. Salah paham itu tercermin antara lain dalam lagu yang biasa kita nyanyikan, yaitu “satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa kita”. Akibatnya, sumpah pemuda kita maknai hanya mengenal satu bahasa saja, yaitu bahasa Indonesia, dengan mengabaikan dan menafikan bahasa-bahasa daerah yang demikian banyak jumlahnya. Padahal, teks asli sumpah pemuda itu menyatakan bahwa kita “menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan”. Artinya, bahasa Indonesia itu adalah bahasa persatuan, bukan satu-satunya bahasa yang diakui oleh bangsa dan negara.
Kita koreksi kesalahpahaman itu dengan menegaskan kembali bahwa kita harus bersatu sebagai bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan semboyan “bhineka-tunggal-ika”. Keanekaragaman bahasa, kemajemukan anutan agama, etnis dan bahkan perbedaan rasial, merupakan kekayaan budaya bangsa kita yang tidak ternilai. Akan tetapi di tengah keanekaan itu, kita telah bertekad untuk bersatu seperti tercermin dalam sila ketiga Pancasila, yaitu “Persatuan Indonesia”. Kita bersatu dalam keragaman, “unity in diversity”, “bhinneka tunggal ika”. Dalam semangat persatuan itu, kita beraneka ragam. Kita beraneka, tetapi tetap kokoh bersatu.
Setelah masa reformasi dan terjadinya perubahan UUD 1945, semangat persatuan dalam keragaman itu kembali dipertegas dalam rumusan pasal-pasal konstitusi kita. Prinsip otonomi daerah yang sangat luas kita terapkan. Bahkan satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa seperti Papua, Aceh, dan Yogaykarta, atau pemerintahan daerah yang bersifat khusus seperti DKI Jakarta, diberi ruang untuk tidak seragam atau diberi kesempatan untuk mempunyai ciri-ciri yang khusus atau istimewa, yang berbeda dari daerah-daerah lain pada umumnya. Demikian pula, kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat di seluruh nusantara diperkenankan untuk hidup sesuai dengan keasliannya masing-masing. Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 menegaskan, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang”.
Di samping itu, diadakan pula penegasan mengenai status bahasa daerah dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Dengan semangat untuk menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, tidak berarti bahwa bahasa daerah diabaikan. Karena itu, dalam Pasal 32 ayat (2) UUD 1945 ditegaskan, “Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional”. Dengan perkataan lain, semangat keanekaan atau kemajemukan kembali diberi tekanan dalam rangka pembinaan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Dalam wujudnya yang paling konkrit, prinsip kebersatuan dan persatuan itu juga kita materialisasikan dalam konsepsi tentang negara konstitusional yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. UUD 1945 yang di dalamnya terkandung roh Pancasila itu merupakan piagam pemersatu kita sebagai satu bangsa yang hidup dalam kesatuan wadah NKRI. Di dalam UUD 1945 itu, segala hak dan kewajiban kita sebagai warga negara dipersamakan satu dengan yang lain antar sesama warga negara. Sebagai warga masyarakat, kita beraneka, tetapi sebagai warga negara segala hak dan kewajiban kita sama satu dengan yang lain.
Karena itu, kaum muda Indonesia saya harapkan dapat membangun kesadaran hidup berkonstitusi. Konstitusi adalah pemersatu kita dalam peri kehidupan bersama dalam wadah NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini. Konstitusi negara itulah yang menjadi sumber referensi tertinggi dalam kita membangun sistim aturan dalam kehidupan bernegara dan berpemerintahan. Para pemimpin dan pejabat adalah tokoh-tokoh atau orang-orang yang datang dan pergi. Kita taati keputusannya sepanjang ia mengikuti dan menaati sistim aturan yang telah kita sepakati bersama berdasarkan UUD 1945. Oleh sebab itu, marilah kita membangun dan melembagakan sistim aturan dalam kehidupan kolektif kita dalam kehidupan bernegara dan berpemerintahan.
Pemuda dan mahasiswa adalah harapan bagi masa depan bangsa. Tugas anda semua adalah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk mengambil peran dalam proses pembangunan untuk kemajuan bangsa kita di masa depan. Estafet kepemimpinan di semua lapisan, baik di lingkungan supra struktur negara maupun di lingkup infra struktur masyarakat, terbuka luas untuk kaum muda Indonesia masa kini. Namun, dengan tertatannya sistim aturan yang kita bangun, proses regenerasi itu tentu akan berlangsung mulus dan lancar dalam rangka pencapaian tujuan bernegara. Oleh karena itu, orientasi pembenahan sistim politik, sistim ekonomi, dan sistiim sosial budaya yang tercermin dalam sistim hukum yang berlaku saat ini sangatlah penting untuk dilakukan agar kita dapat menyediakan ruang pengabdian yang sebaik-baiknya bagi generasi bangsa kita di masa depan guna mewujudkan cita-cita bangsa yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, serta guna mencapai empat tujuan nasional kita, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Pemuda, Mahasiswa dan Perubahan
Pemuda dan mahasiswa sama-sama diidentikkan dengan “agent of change”. Kata-kata perubahan selalunya menempel dengan erat sekali sebagai identitas para mahasiswa yang juga dikenal sebagai kaum intelektualitas muda. Dari mahasiswalah ditumpukan besarnya harapan, harapan untuk perubahan dan pembaharuan dalam berbagai bidang yang ada di negeri ini. Tugasnyalah melaksanakan dan merealisasikan perubahan positif, sehingga kemajuan di dalam sebuah negeri bisa tercapai dengan membanggakan.
Peran sentral perjuanganya sebagai kaum intelektualitas muda memberi secercah sinar harapan untuk bisa memperbaiki dan memberi perubahan-perubahan positif di negeri ini. Tidak dipungkiri, bahwa perubahan memang tidak bisa dipisahkan dan telah menjadi sinkronisasi yang mendarah daging dari tubuh dan jiwa para mahasiswa.
Dari mahasiswa dan pemudalah selaku pewaris peradaban munculnya berbagai gerakan-gerakan perubahan positif yang luar biasa dalam lembar sejarah kemajuan sebuah bangsa dan negara.
Sejarah telah menorehkan dengan tinta emas, bahwa pemuda khususnya mahasiswa selalu berperan dalam perubahan di negeri kita, berbagai peristiwa besar di dunia selalu identik dengan peran mahasiswa didalamnya.
Berawal dari gerakan organisasi mahasiswa Indonesia di tahun 1908, Boedi Oetomo. Gerakan yang telah menetapkan tujuannya yaitu “kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa” ini telah lahir dan mampu memberikan warna perubahan yang luar biasa positif terhadap perkembangan gerakan kemahasiswaan untuk kemajuan bangsa Indonesia.
Gerakan kemahasiswaan lainnya pun terbentuk, Mohammad Hatta mempelopori terbentuknya organisasi kemahasiwaan yang beranggotakan mahasiswa-mahasiswa yang sedang belajar di Belanda yaitu Indische Vereeninging (yang selanjutnya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia). Kelahiran organisasi tersebut membuka lembaran sejarah baru kaum terpelajar dan mahasiswa di garda depan sebuah bangsa dengan misi utamanya “menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan”.
Gerakan mahasiswa tidak berhenti sampai disitu, gerakannya berkembang semakin subur, angkatan 1928 yang dimotori oleh beberapa tokoh mahasiswa diantaranya Soetomo (Indonesische Studie-club),Soekarno (Algemeene Studie-club), hingga terbentuknya juga Persatuan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang merupakan prototipe organisasi telah menghimpun seluruh gerakan mahasiswa ditahun 1928, gerakan mahasiswa angkatan 1928 memunculkan sebuah idieologi dan semangat persatuan dan kesatuan diseluruh pelosok Indonesia untuk meneriakkan dengan lantang dan menyimpannya didalam jiwa seluruh komponen bangsa, kami putra putri Indonesia mengaku bertumpah darah satu yaitu tumpah darah Indonesia, berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia , dan menjunjung bahasa satu yaitu bahasa Indonesia dan hingga kini kita kenal sebagai sumpah pemuda.
Gerakan perjuangan mahasiswa sebagai kontrol pemerintahan dan kontrol sosial terus tumbuh dan berkembang, hinggalah gerakan perjuangan mahasiswa sampai pada terjadinya peristiwa 10 tahun yang lalu yaitu tragedi trisakti mei 1998.
Lagi-lagi mahasiswa menjadi garda terdepan didalam perubahan terhadap negeri ini, gerakan perjuangan ini menuntut reformasi perubahan untuk mengganti rezim orde baru yang korupsi, kolusi, dan nepotisme serta tidak berpihak kepada rakyat dan memaksa turun presiden soeharto dari kursi kekuasaannya yang telah digenggamnya selama hampir 32 tahun.
Gerakan perjuangan mahasiswa tidak semudah yang kita bayangkan, perubahan ini harus dibayar mahal dengan meninggalnya empat mahasiswa universitas trisakti oleh timah petugas aparat yang tidak mengharapkan perubahan itu terjadi.
Sejarah panjang gerakan mahasiswa merupakan salah satu bukti, kontribusinya, eksistensinya, dan peran serta tanggungjawabnya mahasiswa dalam memberikan perubahan dan memperjuangkan kepentingan rakyat.
Peran mahasiswa terhadap bangsa dan negeri ini bukan hanya duduk di depan meja dan dengarkan dosen berbicara, akan tetapi mahasiswa juga mempunyai berbagai perannya dalam melaksanakan perubahan untuk bangsa Indonesia, peran tersebut adalah sebagai generasi penerus yang melanjutkan dan menyampaikan nilai-nilai kebaikan pada suatu kaum, sebagai generasi pengganti yang menggantikan kaum yang sudah rusak moral dan perilakunya, dan juga sebagai generasi pembaharu yang memperbaiki dan memperbaharui kerusakan dan penyimpangan negatif yang ada pada suatu kaum.
Peran ini senantiasa harus terus terjaga dan terpartri didalam dada mahasiswa Indonesia baik yang ada didalam negeri maupun mahasiswa yang sedang belajar diluar negeri. Apabila peran ini bisa dijadikan sebagai sebuah pegangan bagi seluruh mahasiswa Indonesia, “ruh perubahan” itu tetap akan bisa terus bersemayam dalam diri seluruh mahasiswa Indonesia.
Gerakan perjuangan Mahasiswa Indonesia tidak boleh berhenti sampai kapanpun ,gerakan perjuangan mahasiswa saat ini tidak hanya dengan bergerak bersama-sama untuk berdemonstrasi dan berorasi dijalan-jalan saja, akan tetapi wahai para “agent of change”, cobalah untuk bertindak bijak dengan intelektualisme, idealisme, dan keberanian mu untuk bisa senantiasa menanamkan ruh perubahan yang ada dalam dirimu untuk bisa memberi kebaikan dan berperan besar serta bertanggung jawab untuk memberikan kemajuan bangsa dan Negara Indonesia, sehingga seperti Hasan al Banna katakan “goreskanlah catatan membanggakan bagi umat manusia”.
Peranan Mahasiswa dalam Kehhidupan berbangsa dan Bernegara
2009-03-11 10:43
Apa yang terlintas dibenak kita ketika kita mendengar kata”mahasiswa”, mungkin tidak hanya satu jawaban yag akan terucap dari banyak orang dengan beranekaragam latar belakang pendidikan. Mahasiswa merupakan sebuah status yang disandang seseorang ketika ia menjalani pendidikan formal pada sebuah perguruan tinggi. Seseorang dapat dikatakan sebagai seorang mahasiswa apabila ia tercatat sebagai mahasiswa secara administrasi sebuah perguruan tinggi yang tentunya mengikuti kegiatan belajar dan mengajar serta kegiatan lainnya. Status ini menjadi mutlak apabila kita berbicara dalam konteks pendidikan formal. Ternyata dbalik statusnya itu, masih banyak sekali peranan seorang yang menyandang status mahasiswa untuk menunjukkan peranannya pada kehidupan masyarakat terlebih lagi pada tingkat kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sejarah membuktikan bagaimana kekuatan mahasiswa dalam pergantian rezim yang diktator menuju perubahan kearah lebih baik, sebagai contoh gerakan mahasiswa bersama komponen bangsa lainnya yang ketika itu masyarakat,parpol dan ABRI dalam menyuarakan TriTura(Tiga Tuntutan Rakyat) yang berhasil menggantikan rezim kekuasaan saat itu yang dinilai cenderung terlau berpihak pada haluan kiri. Kemudian bagaimana peristiwa Malari(Petaka Lima Belas Januari) yang dimotori oleh Hariman Siregar yang notabene sebagai mahasiswa kedokteran Universitas Indonesia, dan masih membekas diingatan kita ketika kekuatan mahasiswa untuk menggulingkan rezim orde baru yang otoriter yang telah berkuasa selama 32 tahun. Itu merupakan bukti-bukti nyata dimana mahasiswa menunjukkan peranannya dikancah perpolitikan nasional yang tentunya untuk menciptakan keselarasan menuju masyarakat yang makmur sentosa, meskipun sampai sekarang buah tangan dari perjuangan mahsiswa tersebut masih jauh panggang dari api. Sehinnga dapat disimpulkan bahwa kekuatan mahasiswa dalam kancah perpolitikan nasional menjadi patut diperhitungkan sebagai gerakan yang murni membela kepentingan rakyat semata.

Sekarang mari kita tengok aktivitas mahasiswa zaman sekarang, Amien Rais pernah mengutarakan intensitas dan kualitas dari gerakan kemahasiswaan cenderung mengalami penurunan seiring datangya era globalisasi ke negeri kita tercinta ini, kebanyakan dari mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktunya dengan kegiatan yang kurang jelas manfaatnya, forum-forum diskusi mengenai hal-hal yang berhubungan dengan kenegaraan tidak pernah dijejali oleh mahasiswa sebaliknya tempat-tempat hiburan malah disesaki para mahasiswa. Penulis tidak melarang tentunya sebatas itu tidak melanggar syariat, karena sebagai manusia tentunya kita juga butuh yang namanya hiburan. Tetapi hal itu juga harus disaring dengan kekuatan iman kita. Kembali kepada kualitas gerakan kemahsiswaan masa sekarang yang cenderung menurun, maka sadar atupun tidak itu merupakan efek dari masuknya era globalisasi ke indonesia tanpa diharmonisasi dengan manajemen waktu dan diri yang baik. Untuk membangun citra mahasiswa sebagai agen pembaharu ataupun kaum intelektual yang mana dipundaknya ada masa depan bangsa ini yang akan dilabuhkan dimana, maka kita harus memupuk rasa persaudaraan dan senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita. Selain itu tentunya kita perlu membangun konsep intelektual dalam gerakan yang sinergi dan terarah menuju masyarakat yang adil dan makmur. Sehingga kedepan mahasiswa tidak hanya dikenal lewat aktivitasnya ketika menjalani perkuliahan saja,tetapi sebagai elemen bangsa yang peka terhadap kondisi permasalahan disekitarnya .Semoga.

PERANAN DAN FUNGSI MAHASISWA DALAM ERA REFORMASI
Mahasiswa selalu menjadi bagian dari perjalanan sebuah bangsa. Roda sejarah demokrasi selalu menyertakan mahasiswa sebagai pelopor, penggerak, bahkan sebagai pengambil keputusan. Hal tersebut telah terjadi di berbagai negara di dunia, baik di Timur maupun di Barat.
Pemikiran kritis, demokratis, dan konstruktif selalu lahir dari pola pikir para mahasiswa. Suara-suara mahasiswa kerap kali merepresentasikan dan mengangkat realita sosial yang terjadi di masyarakat. Sikap idealisme mendorong mahasiswa untuk memperjuangkan sebuah aspirasi pada penguasa, dengan cara mereka sendiri.
Dalam hal ini, secara umum mahasiswa menyandang tiga fungsi strategis, yaitu :
1. sebagai penyampai kebenaran (agent of social control)
2. sebagai agen perubahan (agent of change)
3. sebagai generasi penerus masa depan (iron stock)
Mahasiswa dituntut untuk berperan lebih, tidak hanya bertanggung jawab sebagai kaum akademis, tetapi diluar itu wajib memikirkan dan mengembang tujuan bangsa. Dalam hal ini keterpaduan nilai-nilai moralitas dan intelektualitas sangat diperlukan demi berjalannya peran mahasiswa dalam dunia kampusnya untuk dapat menciptakan sebuah kondisi kehidupan kampus yang harmonis serta juga kehidupan diluar kampus.

Peran dan fungsi mahasiswa dapat ditunjukkan :
• Secara santun tanpa mengurangi esensi dan agenda yang diperjuangkan.
• Semangat mengawal dan mengawasi jalannya reformasi, harus tetap tertanam dalam jiwa setiap mahasiswa.
• Sikap kritis harus tetap ada dalam diri mahasiswa, sebagai agen pengendali untuk mencegah berbagai penyelewengan yang terjadi terhadap perubahan yang telah mereka perjuangkan.
Dengan begitu, mahasiswa tetap menebarkan bau harum keadilan sosial dan solidaritas kerakyatan.
Menurut Arbi Sanit ada empat faktor pendorong bagi peningkatan peranan mahasiswa dalam kehidupan politik.
1. sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai horison yang luas diantara masyarakat.
2. sebagai kelompok masyarakat yang paling lama menduduki bangku sekolah, sampai di universitas mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik yang terpanjang diantara angkatan muda.
3. kehidupan kampus membentuk gaya hidup yang unik di kalangan mahasiswa. Di Universitas, mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah, suku, bahasa dan agama terjalin dalam kegiatan kampus sehari-hari.
4. mahasiswa sebagai kelompok yang akan memasuki lapisan atas dari susunan kekuasaan, struktur perekonomian dan prestise dalam masyarakat dengan sendirinya merupakan elit di dalam kalangan angkatan muda.

Pada saat generasi yang memmipin bangsa ini sudah mulai berguguran pada saat itulah kita yang akan melanjutkan tongkat estafet perjuangan bangsa ini. Namun apabila hari ini ternyata kita tidak berusaha mambangun diri kita sendiri apakah mungkin kita kan membangun bangsa ini suatu saat nanti?
Jawabannya ada pada diri anda masing-masing.
Kemampuan yang harus dimiliki seorang mahasiswa
1. Soft skill (Kemampuan Kepribadian)
• Soft Skill atau kemampuan kepribadian adalah salah satu faktor untuk sukses pada pendidikan yang ditempuh dan juga penentu untuk masa depan seseorang dalam menjalani hidupnya.
• Karena soft skill hampir 80 % menentukan keberhasilan seseorang.
Kemampuan soft skill yang perlu dimiliki seorang mahasiswa
• Manajemen waktu
• Kepemimpinan (leadership)
• Tingkat kepercayaan yang tinggi (self confidence)
• Selera humor yang tinggi (sense of humor)
• Memiliki keyakinan dalam agama (spiritual capital)
2. Hard Skill (Kemampuan Intelektual)
Kemampuan intelektual hanya mendukung 20 % dari pencapaian prestasi dan keberhasilan seseorang
Jika kemampuan soft skill ini kita punyai, maka kita akan menjadi orang yang baik di masa depan, sebab saat ini yang terjadi banyak orang yang penting tapi sedikit yang baik
Yakini pilihan anda, bahwa dalam dunia anda menekuni pendidikan tinggi anda bisa sukses seperti yang anda cita-citakan.

Disampaikan dalam kegiatan
Latihan Kader I (Basic Training)
Himpunan Mahasiswa Islam Kota Dumai
Kamis, 4 Desember 2008
oleh : Ridarmin, S.Kom, M.Kom
sumber : internet
Organisasi Ekstra Kampus Menuju Pendewasaan Politik
23 08 2009
Mahasiswa sebagai bagian dari negara ini telah mendapat legitimasi dari sebagian besar masyarakat sebagai agen revolusi. Kita masih ingat bagaimana negara ini terbentuk, para akademisi pada waktu itu yang terwadahi dalam Idische Partij mempunyai peran yang cukup signifikan terhadap proses kelahiran NKRI. Masih tercatat pula di ingatan bagaimana orde baru tumbang sepuluh tahun silam. Mahasiswa pada waktu itu mempunya satu common enemy sehingga secara masif mereka bergerak bersama dengan satu tujuan yaitu menumbangkan orde baru sehingga akhirnya lahir orde reformasi. Masa berlalu, tahun berganti seakan negara ini terlahir kembali. Layaknya seorang balita yang baru lahir negara ini pun saat ini sedang “lucu-lucunya” maksudnya sedang lucu-lucunya dipermainkan oleh menjamurnya ideologi-ideologi yang mulai bebas merasuki setiap kepala orang khususnya mahasiswa. Setiap orang berusaha mencari pembenaran atas ideologi yang dianutnya itu dan berusaha agar bisa diaplikasikan dalam sistem kenegaraan. Berawal dari segelintir mahasiswa idealis, muncul bermacam organisasi ekstra kampus sebagai sarana terwujudnya negara sesuai dengan cita-cita idealismenya. Aktivis-aktivis kampus mencoba menjadi problem solver dari berbagai masalah kenegaraan dengan cara masing-masing. Bergerak sendiri sendiri tanpa koordinasi. Pergerakan dengan arah tak jelas seakan tidak ada lagi musuh bersama saat ini, bahkan teman bisa dianggap musuh dan musuh dianggap teman sesuai kepentingan masing masing. Sehingga sekarang tumbuh subur di kepala kepala aktivis mahasiswa adagium politik “Tiada musuh yang abadi yang ada adalah kepentingan yang abadi”.
Kepentingan politik praktis dengan memanfaatkan pergerakan mahasiswa (organisasi kemahasiswaan ekstra kampus-red) sudah menjadi trend menjelang detik detik Pemilu dan Pilpres. Memang sah-sah saja dan tidak ada yang melarang namun ketika itu sudah menjadi persaingan yang tidak sehat antar kepentingan, sehingga salah satu pihak menyudutkan pihak lain apatah lagi jika fitnah digunakan demi memuluskan tujuannya, maka hal ini akan menjadi masalah yang cukup serius. Bangsa yang sedang mencoba membangun kecerdasan politik seakan berjalan di tempat bahkan mundur menuju apa yang disebut pembodohan politik. Organisasi ekstra kampus yang berafiliasi dengan kepentingan politik praktis “tertentu” mencoba menjegal lawan politiknya dengan mengebiri cikal bakal munculnya organisasi ekstra kampus lain yang menurut anggapannya bisa “membahayakan” eksistensinya (mengancam perolehan suaranya-red). Bahkan dalam suatu kasus secara frontal kekuatan kepentingan politik dengan memanfaatkan organisasi ekstra kampus ini memojokkan lawan politiknya dengan pernyataan-pernyataan yang tidak berdasar dan sangat tidak obyektif. Wacana-wacana dimunculkan melalui diskusi atau seminar mahasiswa. Mereka mencoba mengubah mainset pemikiran peserta seminar/diskusi dengan harapan agar mereka tidak simpatik terhadap lawan politiknya. Bertajuk seminar perbandingan ideologi, kekuatan politik praktis dengan muka organisasi ekstra kampus ini menarik perhatian para mahasiswa dengan mendatangkan narasumber-narasumber yang sudah “diatur” agar pedas mengkritisi tanpa mendatangkan narasumber dari pihak lawan politiknya, sungguh subyektif sekali dan sangat tidak ilmiah. Wacana pun terbentuk seolah olah mengatakan “Jangan kalian simpatik dengan si ini, si anu, partai ini, partai itu karena mereka bla…bla…bla…” alasan alasan muncul mulai dari radikal lah, eksklusif lah, dananya dari Amerika lah dan berbagai lah lah yang lain.
Organisasi ekstra kampus sebagai wadah pengembangan ideologi sekaligus kawah candradimuka menuju pencerdasan politik bangsa seharusnya bisa bersikap bijak dan dewasa dengan memberi ruang bagi ideologi lain (tentunya yang tidak bertentangan dengan dasar negara kita) agar masuk ke kampusnya. Sangat penting adanya semangat “berlomba-lomba dalam kebaikan” pada setiap aktivis mahasiswa. Dengan demikian akan muncul suasana kampus yang dinamis dan ideal tanpa adanya otoritas superior maupun tirani minoritas. Sungguh sangat ironis ketika kita menghadapi mahasiswa yang apatis terhadap lingkungannya dikarenakan superioritas salah satu ideologi tertentu. Akhirnya, kita menunggu produk-produk organisasi ekstra kampus baik berupa kader maupun wacana yang bijak dan dewasa menuju Indonesia yang demokratis. Hidup Mahasiswa !!!
Sebenarnya agak telat ana memposting catatan ini. Ini karena ada sedikit kesalahan teknis, ana lupa naruh file ini dimana, Alhamdulillah baru sekarang ketemu. Latar belakang ana menulis artikel ini karena ada sedikit kegelisahan ketika mahasiswa cenderung turun menghasilkan produk-produk yang signifikan untuk bangsa ini. Tidak bermaksud memojokkan aktivis mahasiswa, tentunya ini adalah tugas kita samua yang peduli. Semoga bermanfaat.
DEFINISI MAHASISWA
Definisi mahasiswa diambil dari suku kata pembentuknya. Maha dan Siswa, atau pelajar yang paling tinggi levelnya. Sebagai seorang pelajar tertinggi, tentu mahasiswa sudah terpelajar, sebab mereka tinggal menyempurnakan pembelajarannya hingga menjadi manusia terpelajar yang paripurna.
Apakah yang diharapkan dari seorang mahasiswa ? Memang harapan ini terbagi pada stratanya, yaitu untuk strata S1, seorang mahasiswa diharapkan mampu memahami suatu konsep, dapat memetakan permasalahan dan memilih solusi terbaik untuk permasalahan tersebut sesuai pemahaman mendalam konsep yang telah dipelajari. Untuk strata S2, mahasiswa diharapkan mampu merumuskan sesuatu yang berguna atau bernilai lebih untuk bidangnya. Sedangkan S3 diharapkan mampu menyumbang ilmu baru bagi bidangnya.
Dari semua strata ada hal yang harus terus secara konsisten diperlihatkan oleh mahasiswa. Yaitu dalam menghadapi permasalahan, seorang mahasiswa harus melakukan analisa terhadap masalah itu. Mencari bahan pendukung untuk lebih memahami permasalahan tersebut. Kemudian memunculkan alternatif solusi dan memilih satu solusi dengan pertimbangan yang matang. Dan pada akhirnya harus mampu mempresentasikan solusi yang dipilih ke orang lain untuk mempertanggung jawabkan pemilihan solusi tersbut.

ILMU GEOGRAFI INDONESIA

Propaganda, Kuasa, Dan Pengetahuan

Genealogi Ilmu Komunikasi di Indonesia, Suatu Penelusuran Awal
Ignatius Haryanto

Pengantar

PERKEMBANGAN ilmu komunikasi di Indonesia dan berbagai kegiatan penerapannya sangat berkembang dalam satu dasawarsa terakhir ini. Ada beberapa indikasi yang bisa ditunjuk untuk melihat perkembangan tersebut. Pertama, adalah makin banyaknya dibuka program-program pendidikan komunikasi (terutama dalam ilmu terapannya) yang diselenggarakan baik oleh perguruan tinggi (mulai dari program sarjana, diploma, hingga kelas extention) ataupun kelembagaan pendidikan non perguruan tinggi lain (ada berbagai pendidikan non degree yang menawarkan program-program komunikasi terapan ini).

Kedua, hasil lebih lanjut dari berbagai program ini adalah tentu saja, semakin banyak lulusan-lulusan berbagai program tadi yang memiliki latar belakang pendidikan komunikasi. Ketiga, hampir seluruh instansi pemerintah, perusahaan bisnis dan berbagai kelembagaan lain yang berurusan dengan publik, pastilah memiliki suatu departemen yang diberi nama Hubungan Masyarakat (Humas) / Public Relations, ataupun kelembagaan konsultan Humas. Keempat, salah satu hasil lain dari program terapan ilmu komunikasi adalah bidang periklanan atau advertising yang juga menunjukkan perkembangan yang sangat pesat dalam dua dekade belakangan ini.

Tak ada yang salah dengan fenomena yang telah disebutkan di atas, karena bagaimanapun juga perkembangan yang terjadi di Indonesia juga merupakan hal yang istimewa jika dibandingkan dengan perkembangan yang terjadi di belahan dunia lain, terutama negara yang sudah termasuk dalam sebutan negara Industri (ataukah negara industri advanced ataupun negara industri baru), apalagi dengan kemajuan teknologi informasi telah membuat berbagai rangkaian hubungan antar manusia atau lembaga kini menjadi makin kompleks, sehingga ada kebutuhan untuk sebagian pihak untuk mengadakan suatu kelembagaan khusus yang berurusan dengan masalah komunikasi – terutama – dengan pihak luar.

Yang hendak ditulis di sini adalah suatu kritik atas pemahaman ataupun perkembangan ilmu dominan yang terjadi dalam pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia, yang sebenarnya merupakan bagian dari kritik lebih luas terhadap perkembangan ilmu sosial di Indonesia, yang menunjukkan kemandegan atas cara berpikir yang telah diterapkan sekian lama, lewat suatu cara yang spesifik dalam pelanggengan suatu mazhab tertentu yang diyakini untuk diajarkan, dan diterapkan, tanpa ada suatu dimensi kritik epistemology atas perkembangan ilmu itu sendiri.

Tesis utama yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia yang terutama diajarkan oleh universitas-universitas dominan di Indonesia, lebih membela suatu paradigma tunggal, atau katakanlah lebih membela paradigma yang lebih pragmatis, cenderung positivistik, mengabaikan konteks perkembangan ilmu dalam wilayah dimana ia berkembang, serta tak pernah mempertanyakan keabsahan asumsi-asumsi yang terletak di balik penggunaan paradigma dominan dalam perkembangan pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia.

Dengan menyebut ‘paradigma tunggal’, posisi binner adalah paradigma plural, dimana ada berbagai mazhab lain yang dikenal dalam ilmu komunikasi atau ilmu lain yang kini sering berinteraksi secara metodologis dengan ilmu-ilmu komunikasi. Dengan membela posisi paradigma yang plural, maka tulisan ini pun hendak membela suatu pendekatan interaksi antar bidang ilmu yang untuk sebagian pihak masih dianggap suatu tabu.1

Tulisan ini barulah sekedar tulisan awal untuk melacak akar-akar perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia yang terutama sangat berorientasi pada perkembangan ilmu komunikasi di Amerika, terutama dalam kacamata paradigma positivistik, berakar pada mashab Chicago School, dan juga dengan pendekatan yang sangat pragmatis, dengan asumsi-asumsi yang sudah diterima begitu saja dan cenderung menggunakan statistik untuk peneguhan tesis yang sudah dipegang awalnya. Dari sini, secara tidak langsung, hendak mencoba menjawab mengapa terjadi kemandekan dalam perkembangan ilmu komunikasi, sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial lainnya di Indonesia.

Tulisan ini juga hendak melacak bagaimana ilmu komunikasi di Amerika sendiri berkembang menjadi suatu disiplin yang lebih mapan terutama pada tahun 1950-an atau dekade awal setelah selesainya perang dunia II. Hal tentang perang dunia II, di sini disinggung karena ini terutama berkait dengan fakta bahwa sejumlah ahli ilmu komunikasi Amerika – yang teorinya dipergunakan oleh para mahasiswa dan sarjana ilmu komunikasi tanpa daya kritis, dan dianggap sebagai the founding fathers of communication science - punya andil besar dalam penerapan dan pengembangan metode-metode ilmu komunikasi untuk membela kepentingan Amerika dalam perang yang terjadi sejak masa perang dunia II hingga masa perang dingin tahun 1960-an. 2

Dari pelacakan sejarah awal di Amerika, diharapkan tulisan ini bisa memberikan sedikit gambaran, bahwa perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia tak bisa juga dilepaskan dari perkembangan kepentingan ekonomi dan politik Amerika terhadap negara dunia ketiga, seperti Indonesia – terutama yang jaman Sukarno dikenal dengan nasionalisme dunia ketiga dengan mendirikan gerakan non blok dengan negara-negara Asia dan Afrika – dan perkembangan posisi ilmu komunikasi di Indonesia saat ini tak juga bisa dilepaskan dari perkembangan pendekatan developmentalis yang dianut para penyusun kebijakan sosial pada masa awal orde baru, terutama dengan menggandeng ilmu sosial, khususnya ilmu komunikasi dalam kekuasaan birokrasi negara.

Tulisan ini hendak dimulai dengan pelacakan perkembangan ilmu komunikasi di Amerika – yang dibedakan dengan perkembangan ilmu komunikasi di Eropa Barat3
dan juga perkembangan ilmu komunikasi di Amerika Latin ataupun India yang memiliki ciri perkembangan khas – terutama dengan bertumpu pada pengembangan metode propaganda sebagai hasil penting dari dua perang dunia (1914-1918 dan 1939-1945) dengan dua tokoh utama Harold Lasswell dan Walter Lippman. Kemudian tulisan ini berlanjut pada perkembangan metode perang psikologis (psychological warfare) yang digunakan para ahli komunikasi Amerika yang bekerja pada 6 kelembagaan perang Amerika untuk membela kepentingan ekonomi dan politik Amerika.4

Kemudian setelah itu tulisan ini menyoroti sejarah perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia dengan terutama menyoroti bagaimana dekatnya hubungan para sarjana ilmu komunikasi di Indonesia dengan ilmu komunikasi asal Amerika,5 serta menunjuk pada luasnya pengaruh ‘mazhab Amerika’ ini dalam pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia.6 Di bagian akhir tulisan ini, akan sedikit dipaparkan bagaimana propaganda dilakukan di Indonesia oleh kelompok yang menginginkan kejatuhan Sukarno pada tahun 1965/66, dengan menjalankan proyek kudeta sembari melempar berbagai tudingan ke pihak-pihak lain. Bagian ini hendak menunjuk pada penerapan metode propaganda terutama dari kepentingan ilmu komunikasi Amerika dalam proses transisi politik tahun 1965/66 tersebut.7

Membuka Selubung Ideologis: Sumbangan Christopher Simpson dalam memahami konteks perkembangan studi komunikasi di Amerika

Sebelum masuk dalam pembahasan lebih jauh terhadap Lasswell, Lippman dan model teori Propaganda, ada baiknya sedikit mengulas suatu buku yang sangat relevan dalam topik bahasan ini, yaitu buku yang ditulis oleh Christopher Simpson, yang berjudul Science of Coercion: Communication Research and Psycological Warfare 1945-1960 (Oxford University Press, 1994).

Buku ini membedah secara tajam bagaimana keterkaitan para ahli ilmu komunikasi di Amerika (termasuk di dalamnya sejumlah anggota peneliti dari Institut fur Sozialforschung, seperti Herbert Marcuse8 dan Leo Lowental yang bermigrasi ke Amerika ketika para sarjana ‘critical school’ ini terpaksa pergi dari Jerman ketika mulai dalam kekuasaan Hitler) dengan penggunaan perang psikologis yang dikembangkan mereka pada masa antara tahun 1945 dan 1960, dan kalangan militer Amerika yang memiliki kepentingan besar dalam perkembangan metode atau paradigma tertentu dalam studi komunikasi dan mereka ini juga yang punya kuasa untuk menentukan ‘apakah studi komunikasi’ itu, tentunya dengan paradigma yang mereka anggap ‘objektif,’ mencari ‘kebenaran ilmiah.’ Pengembangan pendekatan ini pun didukung dengan besarnya bantuan dana yang diberikan untuk proyek-proyek penelitian yang berkait dengan soal ini.

Perang psikologis di sini diartikan sebagai “serangkaian strategi dan taktik yang didisain untuk mencapai tujuan ideologis, politis dan militer dari organisasi yang membiayainya lewat eksploitasi atribut-atribut sosial dan psikologis, serta sistem komunikasi masyarakat yang dibidik.” Atau dengan kata lain, perang psikologis juga bisa diartikan sebagai “aplikasi pendekatan komunikasi massa dalam konflik-konflik social, dimana ia memfokuskan pada penggabungan antara penggunaan kekerasan atau bentuk komunikasi konvensional lain untuk mencapai kepentingan politik dan militer” 9

Untuk kalangan militer Amerika, ‘komunikasi’ dimengerti tidak lebih dari suatu bentuk transmisi pesan dimana pesannya bisa berupa apa saja untuk mencapai tujuan ideologis, politis dan membela kepentingan militer.10 Tidak cuma itu, agen-agen keamanan Amerika juga melihat propaganda dan perang psikologis sebagai “alat untuk memperluas pengaruh pemerintah Amerika di wilayah-wilayah lain yang kemudian bisa dikuasai oleh tentara-tentara Amerika, dengan biaya yang murah.”11 Sebagai suatu contoh dikemukakan bahwa radio CIA di negara-negara Eropa Timur telah menjadi “sarana yang paling murah, aman, dan efektif bagi kepentingan politik luar negeri Amerika”.

Dan menurut Simpson, perkembangan metode perang psikologis dan pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu komunikasi di Amerika saat itu harus dilihat dalam kaitannya dengan konteks politik dan ekonomi antara tahun 1940 hingga 1950-an, dimana tujuan utama dari operasi perang psikologis tersebut adalah “untuk membuat frustasi ambisi dari negara-negara berkembang yang kaya dengan sumber daya alam, yang memiliki gerakan massa yang radikal, serta memiliki problem-problem besar seperti masalah kemiskinan, ketergantungan, dan korupsi yang hebat.”12

Dari sisi keuangan, hal ini juga menjadi jelas, bahwa antara tahun 1945 hingga 1960, badan-badan seperti Departemen Pertahanan Amerika, kemudian US Information Agency, dan CIA memberikan banyak dana untuk proyek-proyek penelitian komunikasi. Pada tahun 1950-an saja diumumkan, budget untuk penelitian tersebut mencapai $ 1 milyar per tahun, dan di antara dana itu antara $ 7 hingga $ 13 juta disisihkan untuk universitas, untuk kelompok-kelompok think thank, khususnya untuk bidang-bidang: komunikasi yang erat kaitannya dengan psikologi sosial, studi-studi efek komunikasi, studi antropologi dari system komunikasi negara-negara luar, studi tentang pemirsa (audience) di negara-negara luar, dan juga survey-survey opini publik di negara luar.13 Bidang ini semua adalah bidang-bidang yang kini mendominasi pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia dan hampir semua berasal dari latar belakang kondisi perang tersebut.

Sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial, ilmu komunikasi memang punya peran penting dalam kebijakan politik luar negeri Amerika. Seperti dikemukakan oleh salah satu tokoh penting dalam ilmu komunikasi Amerika, Ithiel de Sola Pool, “partisipasi aktif dari para sarjana sosial dalam politik luar negeri Amerika adalah karena mereka adalah birokrat-birokrat atau elite penentu kebijakan di masa mendatang, dan satu-satunya harapan untuk pemerintahan yang humanis (humane government) di masa mendatang adalah dengan penggunaan ilmu-ilmu sosial secara meluas oleh pemerintah.”14

Dengan membaca buku ini maka terbukalah tabir gelap yang selama ini banyak dilupakan banyak sarjana komunikasi di Indonesia, yaitu membuka selubung hubungan antara pengetahuan dan kuasa, atau membuka selubung asumsi-asumsi berbagai pendekatan ilmu komunikasi yang diajarkan di Indonesia, tanpa memeriksa bagaimana konteks kehadiran dan perkembangan ilmu tersebut secara kritis. 15 Ilmu dan metode komunikasi asal Amerika yang berkembang di Indonesia diterima begitu saja (taken for granted) dan dibayangkan bisa diterapkan dalam konteks di Indonesia sebagaimana hal itu bisa diterapkan di Amerika. 16

Buku ini disusun terutama dengan menggunakan bahan dasar dari dokumen-dokumen yang telah di-declassified untuk menggali bagaimana hubungan antara para ahli ilmu komunikasi Amerika dan kepentingan militer pada saat itu. Suatu catatan kecil di sini misalnya bahwa proyek-proyek penelitian yang dilakukan oleh Wilbur Schramm masih ada dalam kategori classified, dan yang agak mengherankan di sini adalah keterlibatan Wilbur Schramm dalam berbagai proyek rahasia militer ini tak pernah disebut – paling tidak dalam catatan kaki – pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia, walaupun dalam terjemahan profil Schramm di jurnal ISKI pernah disebutkan secara sepintas bahwa Schramm punya keterkaitan dengan CIA dan kelembagaan militer Amerika lainnya. 17

Lasswell, Lippman & Teori Propaganda: Cikal bakal studi komunikasi di Amerika

Diktum Lasswell akan selalu diingat oleh mereka yang pernah sedikit belajar ilmu politik atau ilmu komunikasi – karena sesungguhnya Harold Lasswell adalah ilmuwan politik-; “Who says what, to whom, to which channel and with what effect.” Inilah diktum yang akan selalu diingat sebagai suatu model teori komunikasi yang linier, yang ia temukan dari hasil pengamatan dan praktek yang ia lakukan sepanjang masa perang dunia pertama dan kedua.

Pada tahun 1926, Harold Lasswell menulis disertasinya yang berjudul “Propaganda Technique in the World War,” yang menyebutkan sejumlah program propaganda yang bervariasi mulai dari konsep sebagai strategi komunikasi politik, psikologi audiens, dan manipulasi simbol yang diambil dari teknis propaganda yang dilakukan oleh Jerman, Inggris, Perancis dan Amerika.

Sebenarnya kata propaganda sendiri merupakan istilah yang netral. Kata yang berasal dari bahasa Latin “to sow” yang secara etimologi berarti: “menyebarluaskan atau mengusulkan suatu ide” (to disseminate or propagate an idea). Namun dalam perkembangannya, kata ini berubah dan mengandung konotasi negatif yaitu pesan propaganda dianggap tidak jujur, manipulatif, dan juga mencuci otak.18 Pada perkembangan awal ilmu komunikasi, propaganda menjadi topik yang paling penting dibahas pada masa itu, namun anehnya, setelah tahun 1940-an, analisis propaganda ini menghilang dari khasanah ilmu-ilmu sosial di Amerika. Sebagai penggantinya muncullah istilah seperti komunikasi massa (mass communication) atau penelitian komunikasi (communication research), menggantikan istilah propaganda atau opini publik untuk menjelaskan pekerjaan peneliti komunikasi. 19

Lasswell sendiri memberikan definisi atas propaganda sebagai “manajemen dari tingkah laku kolektif dengan cara memanipulasi sejumlah simbol signifikan”. Untuknya definisi ini tidak mengandung nilai baik atau buruk, dan penilaiannya sangat bergantung pada sudut pandang orang yang menggunakannya. Sementara itu ahli lain (Petty & Cacioppo, 1981) menyebut propaganda sebagai usaha “untuk mengubah pandangan orang lain sesuai yang diinginkan seseorang atau juga dengan merusak pandangan yang bertentangan dengannya.” Dalam pengertian ilmu komunikasi, baik propaganda maupun persuasi adalah kegiatan komunikasi yang memiliki tujuan tertentu (intentional communication), dimana si sumber menghendaki ada perilaku yang berubah dari orang lain untuk kepentingan si sumber tapi, belum tentu menguntungkan kepada orang yang dipengaruhi tersebut. Jadi propaganda lebih menunjuk pada kegiatan komunikasi yang satu arah, sementara persuasi lebih merupakan kegiatan komunikasi interpersonal (antar individu), dan untuk itu mengandalkan adanya tatap muka berhadap-hadapan secara langsung. Dengan demikian sebenarnya propaganda adalah persuasi yang dilakukan secara massal.20

Lasswell juga terlibat dalam proyek perang dunia II, dengan melakukan analisa isi terhadap pesan-pesan propaganda yang dilakukan oleh pihak sekutu. Dengan analisa tersebut, Lasswell bermaksud meningkatkan kemampuan dan metodologi propaganda yang dilakukan pada masa itu. Dengan kata lain, Lasswell tak cuma menganalisa propaganda tapi ia juga menciptakan propaganda lain, menghasilkan para murid yang ahli propaganda untuk membantu pemerintah Amerika dalam mengembangkan propaganda dan program intelejen dari pemerintah.21

Sementara itu, tokoh lain yang mengembangkan metode propaganda adalah Walter Lippman, yang juga membuat fondasi awal teori propaganda dari bukunya yang kemudian menjadi buku teks book berbagai universitas beberapa dekade kemudian, Public Opinion (1922) dan The Phantom Public (1925).22 Lippman menulis kedua bukunya berdasarkan pengalamannya sebagai kepala penulis dan editor untuk leaflet bagi kepentingan unit propaganda Amerika. 23

Lippman dalam bukunya mengambil contoh apa yang dilakukan oleh tentara Perancis dalam perang melawan Inggris pada masa PD I, yaitu Perancis tiap minggu mengumumkan penghitungannya atas jumlah korban yang jatuh di pihak Jerman, dan tiap minggu jumlahnya bertambah dalam skala ratusan ribu; 300.000, 400.000, 500.000 dan seterusnya. Tentu saja ini merupakan disinformasi yang dilakukan oleh Perancis dan menurut Lippman, hal ini merupakan bagian dari propaganda.

Lippman mengemukakan tesisnya soal propaganda ini: “Bila sekelompok orang dapat menahan khalayak untuk mendapatkan akses mereka terhadap berita, dan bisa memunculkan berita tentang peristiwa yang mereka kehendaki, pastilah di situ ada propaganda”. Lebih lanjut ia mengatakan: “Untuk menghasilkan suatu propaganda, haruslah ada hambatan antara publik dengan peristiwa yang terjadi.”24 Rogers kemudian mengomentari, semasa perang terjadi, pengelola propaganda dari pemerintah menjadi pengatur lalulintas berita tentang peristiwa-peristiwa penting, dan untuk Lippman propaganda kemudian dimengerti sebagai situasi dimana arus komunikasi menjadi terbatas dan ada sekelompok orang yang berkeinginan untuk mendistorsi berita.

Buat Lippman, komunikasi massa adalah sumber utama dari krisis dunia modern dan komunikasi adalah instrumen yang diperlukan untuk mengelola apapun secara elitis. Menurutnya lagi, ilmu-ilmu sosial menawarkan alat yang bisa membuat administrasi struktur social macam apapun yang tidak stabil menjadi lebih rasional dan efektif. Lippman percaya, propaganda adalah satu alat untuk melakukan mobilisasi massa yang lebih murah daripada terjadinya kekerasan, penyogokan atau cara-cara kontrol lainnya. Dalam artikel lainnya pada tahun 1933, Lasswell pun menambahkan preposisinya, bahwa pengelolaan masalah sosial dan politik yang baik seringkali tergantung pada koordinasi yang rapi antara penggunaan propaganda dan penggunaan paksaan, penggunaan jalan kekerasan atau damai, iming-iming ekonomi, negosiasi diplomatis dan teknik-teknik lainnya. 25

“Bias Amerika” dalam pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia

Sekarang saya akan mencoba menggeser tulisan ini ke soal lain, yaitu menelusuri sejarah perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia, setelah sebelumnya saya membahas kritik ideologi terhadap perkembangan ilmu komunikasi di Amerika, terutama pada dekade antara tahun 1940-60an.

Di Indonesia kemunculan jurusan komunikasi berawal dari perkembangan jurusan jurnalistik atau publisistik yang tercatat dimulai sejak tahun 1953, ketika didirikannya STP (Sekolah Tinggi Publisistik) yang kini bernama IISIP (Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik), dan lima tahun kemudian Jurusan Publistik dibuka di Universitas Gadjah Mada (kini bernama Jurusan Ilmu Komunikasi, di bawah Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik). Sementara itu di Jakarta, lewat keputusan presiden tahun 1959, didirikanlah Fakultas Hukum dan Ilmu Pengetahuan Kemasyarakatan, dimana ada jurusan Publisistik. Angkatan pertama dari sekolah ini kebanyakan adalah para wartawan, lalu juga dari ABRI (termasuk intel, Puspen dan Tentara Pelajar), departemen-departemen seperti Penerangan dan Luar Negeri, Ikatan Pers Mahasiswa, percetakan dan penerbitan.26 Sementara itu di Bandung, pada tanggal 18 September 1960 didirikan Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran, yang saat itu diketuai langsung oleh Rektor Unpad, Prof. Iwa Kusumah Sumantri.27 Di Jakarta pada tahun 1956 juga didirikan Akademi Penerangan dan sementara itu di Ujung Pandang, pada tahun 1961 berdiri jurusan Publisistik, pada Fakultas Ilmu Sosial Politik, Universitas Hasanuddin. 28

Penamaan ‘publisistik’ pada awal dimulainya jurusan ini menunjukkan, pengaruh yang dibawa dari kosa kata Belanda, sebagai masyarakat bekas jajahan Belanda, untuk menunjuk pada studi tentang kemampuan teknis untuk pencarian dan penulisan berita (Cek lagi dari kamus Belanda). Kemudian padaan kata publisistik adalah jurnalistik, yang lebih dikenal dalam kosa kata Inggris, dan kemudian memang jurusan ini lebih banyak berkembang di universitas-universitas di Amerika, karena di sana pulalah industri jurnalistik berkembang dengan pesat, dan didukung pula oleh berbagai jurnal, penghargaan jurnalistik serta prasarana lain yang mendukung perkembangan jurnalistik.

Perubahan penamaan jurusan publisistik menjadi ‘jurusan komunikasi’ pada dekade 1980-an, menunjuk pada evolusi lebih lanjut dari studi ini yang mengarah pada perkembangan yang pararel di Amerika, di mana sejak tahun 1950-60an studi ilmu komunikasi mulai dianggap suatu disiplin ilmu sendiri. Hal itu ditandai oleh hadirnya berbagai jurusan ilmu komunikasi di universitas-universitas di Amerika, diangkatnya sejumlah guru besar komunikasi, terbitnya puluhan buku teks komunikasi, diterbitkannya berbagai jurnal, serta asosiasi sarjana komunikasi yang membuat ilmu ini dianggap suatu ilmu yang mandiri.

Mengenai perubahan orientasi dan nama jurusan atau departemen ini, Djajusman memberikan penjelasan bahwa Publisistik atau Journalism agak mengesankan lebih sebagai craftsmanship (ilmu pertukangan) ketimbang sebagai disiplin ilmu, kemudian dalam perkembangannya, disadari oleh para pengajar bahwa ilmu tersebut tidaklah memadai. Sementara itu di Jerman, ada perkembangan rumpun ilmu yang cukup luas yang meliputi pengetahuan-pengetahuan umum soal kenegaraan seperti hukum, ekonomi dll. “Pendeknya apa saja yang dapat disebarkan kepada masyarakat yaitu Publisistik sebagai suatu Staatswissenchaft tetapi kemudian diperkhusus lagi menjadi ilmu yang disebarkan kepada masyarakat hanya melalui mass media”. Sementara itu dalam perkembangan di Amerika, “mengingat kepentingan dunia industrinya, di samping journalism, merekahkan dan meluncurkan pandangan-pandangan ini menjadi pengetahuan tentang proses komunikasi massa di mana studi intensitas pemasaran ditingkatkan sedemikian rupa, sehingga massa sebagai pengunjah konsumsi terakhir senantiasa dapat merupakan massa yang secara terus menerus dapat diaktivir oleh kegiatan tadi.”29

Yang menarik, perubahan nama jurusan Komunikasi ini dilakukan lewat suatu Keputusan Presiden, yaitu Keppres nomor 107/1982, dan Keppres itu menurut Anwar Arifin, “membawa penyeragaman nama dari ilmu yang dikembangkan di Indonesia, termasuk ilmu komunikasi.”30 Sebelumnya beberapa kampus ada yang masih menggunakan nama Jurusan Publisistik dan ada yang kemudian menggunakan nama Jurusan Komunikasi Massa.

Perkembangan ilmu komunikasi ini tentu saja kembali menunjuk pada fakta yang ditunjukkan oleh Christopher Simpson di depan, bahwa perkembangan ilmu komunikasi pada masa setelah Perang Dunia disokong sepenuhnya oleh berbagai kelembagaan militer Amerika yang memberikan banyak dana untuk pengembangan studi dan penelitian komunikasi dalam rangka kepentingan Amerika mengenali karakter berbagai negara dan bangsa lain di luar Amerika. Tetapi, hal itu tak lepas dari usaha Amerika untuk menghegemoni dunia, dan menjaga posisi Amerika dalam konteks dunia. 31

Simpson menyebut, dengan adanya program perang urat syarat yang dilancarkan Amerika, telah mendorong penelitian ilmu komunikasi menjadi suatu bidang yang khas, memberikan pengaruh kuat kepada para pemimpin dan akan pula menentukan dari paradigma komunikasi yang saling berebut pengaruh, yang mana yang akan lebih diberi dana, mana yang akan lebih dikembangkan dan dirangsang untuk maju. Memang, negara tidak secara langsung menentukan apa yang bisa atau tidak bisa dikatakan oleh seorang sarjana tapi, negara melakukan pengaruh yang signifikan untuk menyeleksi siapa yang otoritatif (memiliki otoritas) dalam bidang tersebut. 32

Sayangnya tak ada artikel yang bisa menjelaskan bagaimana persebaran ilmu komunikasi ini terjadi, sehingga kemudian memunculkan berbagai fakultas atau jurusan ilmu komunikasi di berbagai wilayah di Indonesia.33 Juga tak bisa dirujuk data resmi, yang bisa menunjuk pada pertumbuhan jumlah lulusan jurusan komunikasi ini dalam beberapa tahun terakhir ini. Tetapi, lebih dari soal jumlah lulusan komunikasi, yang lebih menarik adalah menelusuri bagaimana persebaran ilmu ini terjadi, dan mengapa terjadi persebaran yang demikian cepat. Apa hal yang membuat ada ‘kebutuhan’ jurusan dan lulusan ilmu komunikasi dalam waktu yang dekat ini? Adakah ini berkaitan dengan tumbuhnya industri pers, kemudian industri periklanan, dan industri kehumasan yang berkembang membutuhkan banyak tenaga kerja untuk bidang kerja ini.

Kalau saja secara spekulatif dibayangkan bahwa pergeseran pers politik menjadi pers industri terjadi sejak pertengahan tahun 1980-an sebagaimana disinyalir oleh Daniel Dhakidae,34 maka kita bayangkan pula bahwa kebutuhan akan adanya lulusan-lulusan ilmu komunikasi ini juga meningkat sejak pertengahan tahun 1980-an tersebut. Di sini tak bisa pula diingkari pertumbuhan ekonomi yang telah dihasilkan Orde Baru yang membuat industrialisasi bergema di berbagai sector kehidupan, termasuk sektor industri komunikasi ini.

Dengan membaca kembali jurnal-jurnal lama atau laporan karya ilmiah yang diproduksi antara tahun 1970-80an, kita akan melihat betapa dominannya cara pandang tentang komunikasi pembangunan yang merupakan turunan dari pengertian modernisasi yang diterapkan di Indonesia, dengan fokus terutama adalah bagaimana menggiatkan masyarakat lewat kegiatan-kegiatan komunikasi pembangunan terutama lewat program-program pemerintah, dan mengukur bagaimana efektivitas program tersebut dijalankan oleh pemerintah. Banyak riset yang dilakukan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi UI pada tahun-tahun tersebut, adalah riset yang didanai oleh pemerintah. Inilah beberapa contoh riset yang pernah dilakukan pada decade 1970-80an tersebut:

1. Kerjasama dengan Proyek Pedesaan UI dengan topik masalah, pemecahan masalah pembangunan desa seperti misalnya peranan pemuka masyarakat desa dalam pembangunan, masalah penyebaran informasi KB, KUD, BIMAS.
2. Kerjasama dengan Departemen Penerangan RI tentang pengaruh TV, penonton TV, pendengar radio, pengaruh film, Pusat Penerangan Masyarakat di daerah-daerah.
3. Kerjasama dengan BKKBN, dengan menerbitkan buku panduan untuk siaran KB melalui radio, TV dan media lainnya. 35

Sementara itu dari Litbang Deppen, ada sejumlah penelitian yang telah dihasilkan pada decade yang sama yaitu: penelitian tentang efektivitas media tradisional, penelitian tentang pengaruh social budaya dari siaran televisi dan radio lewat SKSD, penelitian tentang pengaruh perfilman di daerah pedesaan, penelitian tentang interaksi antara pers dan decision makers, dan sebagainya. 36

Sekarang secara khusus saya ingin menguraikan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ronny Adhikarya, seorang doktor komunikasi asal indonesia yang meraih Master dari Cornell University dan PhD dari Stanford University. Mungkin Adhikarya, sampai saat ini baru satu-satunya orang yang mencoba menelusuri persoalan transfer pengetahuan komunikasi dari paradigma komunikasi dominan di Amerika dengan para sarjana komunikasi asal negara-negara ASEAN.

Studinya ini ia terbitkan pada tahun 1983,30 dan inilah beberapa point kesimpulan hasil penelitiannya:

- Adhikarya menyebutkan walaupun ada peningkatan tajam dari kehadiran para sarjana dari ASEAN ke universitas Amerika, namun para professor di Amerika tidak cukup berusaha untuk mengaitkan apa yang mereka ajarkan untuk menghubungkan dengan apa yang terjadi di negara dunia ketiga (h.2) dan para professor tersebut memiliki pandangan yang lebih Amerika-etnosentris dan lebih tertarik dengan fenomena yang berkembang dalam media komersial Amerika dan isu-isu teknologi canggih dalam komunikasi

- ketergantungan para sarjana komunikasi ASEAN dengan Amerika karena lebih banyak orang mendapatkan pendidikan komunikasi di Amerika dan juga karena tidak tersedianya bahan yang cukup dari karya non-Amerika. Bahkan untuk isu soal komunikasi pembangunan sekalipun, lebih banyak buku atau artikel jurnal ditulis oleh sarjana asal Amerika ketimbang oleh sarjana dari negara dunia ketiga.

- Tak adanya pendekatan kritis dalam pengajaran ilmu komunikasi37 – sebagaimana berkembang misalnya di Amerika Latin – dikarenakan universitas di Amerika banyak yang tidak mengajarkan masalah itu, dan lebih menggunakan pendekatan mainstream.

- Adhikarya pun menyebut sejumlah universitas di Eropa yang dianggap bagus dalam memberikan pemahaman atas pendekatan kritis dalam studi komunikasi: Universitas Leicester di Inggris, Universtias Tampere di Finland, University of Frankfurt di Jerman dan tidak ada sarjana ASEAN yang pernah sekolah di sana.38

- Problem dengan knowledge transfer (note: Adhikarya menulis bahwa “ketergantungan besar terhadap pengetahuan komunikasi Amerika di antara para sarjana ASEAN bukanlah merupakan hal yang sistemik dibuat oleh para sarjana Amerika tersebut untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, politik dan budaya dari negara-negara ASEAN tersebut” (h.5) dari US-ASEAN. Hal itu lebih disebabkan oleh dominannya paradigma ‘empirical school’ dalam pengembangan ilmu di ASEAN yang akan mengabdi pada kepentingan status quo negara ataupun untuk kepentingan industri media komersial (h.7).

Karya Adhikarya, walaupun punya sumbangan untuk memahami bagaimana pengaruh ilmu komunikasi Amerika terhadap sarjana komunikasi di ASEAN (dan Indonesia juga), tidak cukup menggambarkan bagaimana proses itu berjalan, mengapa Amerika pada kesempatan pertama lebih dipilih ketimbang misalnya Eropa, padahal jika lihat sejarahnya sejumlah negara di ASEAN lebih memiliki kedekatan historis dengan Eropa, sebagai bekas jajahan Eropa (Inggris dan Belanda), ketimbang misalnya Amerika (mungkin hanya Filipina yang bisa dimasukkan dalam kategori ini). Mengapa ini terjadi? Mengapa perjumpaan dengan Amerika lebih dianggap bisa berkembang, ketimbang dengan negara-negara Eropa Barat? Apakah sentimen anti kolonial menjadi salah satu jawaban berpalingnya para sarjana ASEAN dari negara Eropa Barat ke Amerika?

Artinya oleh Adhikarya, keterkaitan sarjana ASEAN dengan universitas di Amerika lebih dianggap sebagai suatu yang ‘taken for granted’ dan tak perlu dipersoalkan lagi. Padahal, sebagaimana ditunjukkan pada bagian awal tulisan ini, justru perkembangan studi komunikasi di Amerika ini bukan tanpa persoalan.

Juga ketika Adhikarya menyebut tentang dominasi pendekatan empiris dalam pemahaman studi komunikasi oleh para sarjana ASEAN, tidak dielaborasi lebih jauh, mengapa pendekatan lain di luar empiris jadi penting? Apakah pendekatan non-empiris lalu bisa lebih menjelaskan fenonema yang banyak diabaikan oleh para professor Amerika tadi? Atau bagaimana sesungguhnya posisi dua pendekatan besar ini untuk mengerti konteks yang berkembang untuk negara-negara dunia ketiga seperti ASEAN (atau juga bisa disebut sebagai negara industri baru, kalau istilah ‘negara dunia ketiga’ dianggap ketinggalan jaman)?

Harusnya Adhikarya bisa mengelaborasi lebih jauh dimana pentingnya pendekatan lain non-empiris dengan memperhatikan dimensi bahwa struktur masyarakat yang ada di ASEAN (ataupun Indonesia) adalah struktur masyarakat yang berbeda, lalu proses formasi social masyarakat paska kolonial di Indonesia juga berbeda, dan perkembangan kapitalisme (yang tak terhindarkan) juga menghasilkan pola yang berbeda, dan hasilnya suatu kapitalisme yang crony, yang predator, juga akan menambah penting perlunya kajian lain yang lebih komprehensif daripada sekedar menyebut “perlunya pendekatan lain di luar tradisi empiris.”38

Kosongnya tradisi Marxisme dalam ilmu Komunikasi di Indonesia

Hilangnya tradisi Marxisme dalam ilmu-ilmu sosial dan juga dalam ilmu komunikasi, bisa diduga sebagai salah satu akibat mandeknya perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia. Hilangnya tradisi Marxis ini tentu saja berkait erat dengan regulasi yang dilakukan Negara untuk membatasi percakapan akademis menyangkut pemikiran yang mengambil pokok pada filsuf Karl Marx. Regulasi dilakukan lewat Tap MPRS no 25/1966 yang kemudian sempat kembali ramai ketika Presiden Abdurrachman Wahid, mengusulkan agar Tap tersebut cabut. Namun reaksi yang muncul justru adalah pengerasan penolakan terhadap Tap tersebut.

Implikasi dari hilangnya tradisi Marxis tersebut, memberikan kontribusi kemandekan bagi ilmu sosial sehingga, paradigma dominan, yaitu paradigma modernisasi atau developmentalis menguasai penuh cara berpikir sebagian besar para pengajar di kampus-kampus jurusan komunikasi.

Setidaknya dari pengalaman penulis ketika studi di Universitas Indonesia, nama Marx sesekali disebut dalam ruang kuliah, tapi lebih merupakan informasi singkat atau cenderung misleading, atau disebut sebagai materi yang kira-kira harus dihindari untuk dibahas lebih jauh. Padahal, tradisi Marxis sendiri sudah makan ratusan tahun telah banyak mengritik pendekatan awal Marx dan dalam derivasinya – terutama dari para pemikir dari Eropa Barat, mulai dari Jerman, Inggris, Perancis atau Italia – sudah memunculkan berbagai perdebatan menarik yang punya implikasi terhadap perkembangan ilmu komunikasi itu sendiri.39

Hilangnya tradisi Marxis ini pun secara luas bisa dilihat dari reaksi yang muncul ketika Presiden Wahid, melontarkan ide pencabutan Tap MPRS 25/1966 tersebut. Sejumlah respon yang muncul kala itu adalah sebentuk pengertian tentang Marxisme yang dibekukan atau direduksi menjadi diktum: Marxisme = Leninisme = Komunisme. Pembekuan pengertian tersebut mengejutkan, karena menunjukkan betapa tertinggalnya wacana yang berkembang dalam ilmu-ilmu sosial di Indonesia dan saat ini tak ada kelompok yang cukup serius mengkaji pengembangan ilmu ini.

Dalam buku babon yang dipergunakan oleh para mahasiswa jurusan ilmu komunikasi di beberapa tempat (setidaknya di Universitas Indonesia, yang kebetulan penulis mengetahuinya), yaitu buku yang ditulis oleh Stephen Littlejohn, ….. (kini memasuki edisi revisi ke …tahun ) disebutkan beberapa paradigma teori yang punya pengaruh terhadap ilmu komunikasi dan di antaranya disinggung tentang tradisi neo-Marxis dan juga tradisi British Cultural Studies sebagai beberapa derivasi tradisi Marxis, dalam perkembangan di Eropa Barat. Namun, bagian ini lebih disinggung sepintaslalu dalam banyak perkuliahan tersebut. Mungkin ada beberapa sebab hal ini disinggung secara sepintas: Pertama, karena pengajar tidak memahami materi yang diajarkan dalam tradisi itu; kedua, tidak tersedia suatu contoh penelitian yang menggunakan pendekatan teori tersebut di Indonesia; ketiga, tidak tersedia literature yang cukup untuk membahas materi tersebut, atau keempat, phobi atas Marxisme memang kuat baik di antara staf pengajar maupun para mahasiswanya. 40

Sementara itu, tanpa harus menjadi fanatik dengan Marx, sejumlah negara dunia ketiga lain seperti India dan negara-negara Amerika Latin, memiliki sejumlah kritik keras terhadap pendekatan ilmu komunikasi dominan ala Amerika ini. Tradisi sebagai masyarakat post-kolonial dieksplorasi betul oleh para sarjananya untuk menaruh posisi mereka dalam suatu dunia baru paska perang dunia II. Bahkan, sejumlah sarjana India, misalnya, menjadi sangat kritis terhadap perkembangan ilmu sosial di Barat dan menyelenggarakan kelompok studi yang membahas secara serius dalam persoalan penulisan sejarah dari dalam.41

Dengan memeriksa berbagai karya penelitian para dosen komunikasi di Indonesia, ataupun kajian yang muncul di berbagai jurnal antara tahun 1970-an hingga 1990-an, terlihat betapa kosongnya pendekatan Marxis ini dalam kajian ilmu komunikasi di Indonesia. 42

Propaganda dalam praktek awal Orde Baru: aliansi TNI AD dan CIA?

Sekarang saya agak sedikit melompat untuk bicara tema lain yang masih berkaitan dengan tema utama soal Propaganda. Bagian ini sekedar menguraikan bagaimana metode Propaganda dipergunakan untuk menjungkalkan Sukarno pada tahun 1965/6, sebagai bagian dari konspirasi Angkatan Darat dan CIA. Hal ini merupakan sekedar ilustrasi tentang bagaimana beroperasinya metode Propaganda yang kemudian diadopsi oleh Negara Orde Baru dan kelompok bisnis untuk menyebarkan pesan-pesan pembangunan dan glorifikasi industri-industri baru di Indonesia.

Saskia Wieringa ketika menulis studinya soal Gerwani43 pada tahun 1965 menunjukkan dengan rinci, bagaimana proses propaganda dilakukan oleh pihak Angkatan Darat untuk memanipulasi dan mendiskreditkan PKI, dan organisasi lain seperti Pemuda Rakyat dan Gerwani, sebagai pelaku pembunuhan para jendral.

Propaganda yang dilakukan oleh kelompok Angkatan Darat, memang sangat efektif. Terbukti setelah mereka menguasai kembali Radio Republik Indonesia pada tanggal 1 Oktober 1965 senjahari, sebelumnya mereka pun telah menebar jaringan Koran atas nama Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha di berbagai kota di Indonesia, dengan menerbitkan kedua Koran tersebut dengan berbagai edisi, misalnya edisi Jawa Barat, Jawa Timur, edisi Sumatera, edisi bahasa Inggris, dan bahasa Cina.44

Bahwa CIA punya peran penting di balik propaganda untuk menjatuhkan Sukarno, buktinya menjadi makin jelas dari hari ke hari. Dengan membaca artikel yang ditulis oleh Maruli Tobing, wartawan harian Kompas,45 terlihat makin jelas beberapa bukti keterlibatan CIA, terutama dari sisi bagaimana suatu propaganda dilakukan.46 Dengan mengutip Roland G. Simbulan, seorang professor dari University of Philippines, disebutkan bahwa pada tahun 1965, ada suatu pemancar radio yang sangat kuat, yang bernama Suara Indonesia Bebas, yang getol melancarkan propaganda untuk memberontak dari Sukarno, yang kekuatan pemancarnya bisa ditangkap oleh seluruh radio gelombang pendek di Indonesia, dan sumber pemancar itu ada di markas Jendral Soeharto, yang diangkut lewat sebuah pesawat pengangkut US Air Force C-130 atas perintah langsung dari William Colby, Direktur CIA Divisi Asia Timur Jauh.

Dengan mengutip Peter Dale Scott, juga digambarkan bagaimana trik disinformasi CIA yang begitu canggih menimbulkan ketegangan yang luar biasa, khususnya antara PKI dan kelompok Jendral Nasution, misalnya, dengan memproduksi berbagai leaflet atau pamflet. Ralph McGehee, anggota CIA dari bagian Counterintelligence seksi Komunisme International, juga menyebut bahwa proses eskalasi disinformasi secara sistematis telah dilakukan CIA di Indonesia pada tahun-tahun krusial tersebut. Proses disinformasi merupakan ‘prosedur baku dalam operasi rahasia CIA’, terutama untuk negara-negara yang pemimpin atau kelompok politiknya dianggap menghalangi kepentingan Amerika, di antaranya adalah Presiden Arbenz di Guatemala tahun 1954, Sukarno di Indonesia tahun 1965-66, Allende di Chile tahun 1973, Juan Torres di Bolivia tahun 1971, Arosemana di Dominika tahun 1963, dan Joao Goulart di Brasil tahun 1964. 47

Propaganda yang dilakukan pada awal Orde Baru ini, kemudian diadopsi oleh institusi Negara dan kemudian dikembangkan dalam suatu paradigma baru, paradigma pembangunan ekonomi atau juga bisa disebut sebagai paradigma modernisasi. Berbagai program pemerintah dilakukan dengan cara propaganda, mulai dari soal trilogy pembangunan, kampanye keluarga berencana, pemasyarakatan pancasila ala Orde Baru, dibuatnya institusi-institusi pendukung propaganda ini, misalnya BP7 dan kemudian penerapannya dalam berbagai program pendidikan formal, pembuatan film-film yang menggaungkan kemenangan tentara dan jasa-jasa mereka di masa lalu. 48

Dan para pendukung proyek propaganda negara ini, sebagian adalah sarjana-sarjana komunikasi yang kemudian menjadi birokrat negara, karena sebagian dari mereka percaya bahwa program komunikasi pembangunan terutama harus diterapkan lewat jaring-jaring birokrasi yang ada.

Sementara itu di kalangan kelompok bisnis, terutama misalnya industri periklanan dan juga industri public relations, metode propaganda juga dipakai untuk kepentingan mengkampanyekan berbagai produk konsumtif kepada masyarakat lewat iklan-iklan yang diproduksi di berbagai media. Angka belanja iklan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan yang signifikan dan para perusahaan iklan dan humas internasional pun perlahan-lahan masuk ke Indonesia yang dianggap sebagai “sebuah pasar yang luas dan (pernah) dianggap sebagai salah satu negara industri baru di Asia”.

Noam Chomsky,49 menulis, “State propaganda, when supported by the educated classes and when no deviation is permitted from it, can have a big effect.” Chomsky mengutip Walter Lippman yang berpendapat bahwa demokrasi yang berjalan dengan baik mengandaikan adanya suatu kelas dalam masyarakat yang memiliki fungsi yang aktif dalam menjalankan berbagai hal, dan mereka merupakan kelas yang khusus (specializes class), yang melakukan analisa, mengeksekusi, memutuskan kebijakan dan menjalankan sistem politik, ekonomi dan ideologi.

Buat Chomsky, ada pertanyaan implisit atas bagaimana kelompok kelas khusus ini mencapai posisinya, dan saat dimana mereka menjadi kelompok yang memutuskan kebijakan publik. Jawabannya, cara mereka untuk sampai pada posisi tersebut adalah dengan melakukan politik kekuasaan. Pun kalau mereka tidak menguasai keahlian khusus, mereka tidak akan menjadi anggota kelas khusus tersebut, dan mereka juga harus merupakan kelompok yang telah mengalami indoktrinasi yang dalam tentang nilai-nilai dan kepentingan dari kelompok bisnis atau negara yang mereka wakili.

Menurut Chomsky, Perkembangan industri PR di Amerika bertujuan untuk “mengontrol pikiran publik” seperti yang dikemukakan oleh para pemimpin bisnis ini. Mereka belajar banyak dari sukses yang diraih oleh Komisi Creel dan sukses untuk menakut-nakuti bahaya Merah/komunis dan kelanjutannya. Industri PR Amerika berkembang pesat pada tahun 1920-an dalam menciptakan subordinasi total kepada masyarakat demi kepentingan bisnis.50

Penutup

“Penyelenggaraan kekuasaan terus menerus menciptakan pengetahuan, dan sebaliknya pengetahuan tak henti-hentinya menimbulkan efek kuasa. Pengetahuan dan kekuasaan saling terkait satu sama lain. Kita tidak bisa membayangkan suatu ketika pengetahuan tidak lagi tergantung pada kekuasaan. Mustahil menyelenggarakan kekuasaan tanpa pengetahuan, sebagaimana halnya mustahil pengetahuan tak mengandung kekuasaan.”51

Hubungan resiprokal antara kuasa dan pengetahuan sebagaimana dilansir Foucault tersebut, menjelaskan banyak hal tentang apa yang sesungguhnya terjadi dalam perkembangan ilmu Komunikasi di Indonesia. Ada kepentingan kekuasaan yang hendak mencari legitimasi dari pengetahuan dan sebaliknya pengetahuan sendiri memiliki dimensi kekuasaan yang akan bisa dipakai kekuasaan manapun.

Sekali lagi tulisan ini barulah pengantar untuk memasuki wilayah baru dalam mengenali genealogi perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia. Dan setidaknya tulisan ini hendak mencoba mengungkit-ungkit legitimasi ilmu komunikasi yang berkembang di Indonesia, yang sering diterima tanpa melakukan kritik terhadap konteks-konteks yang mengikuti perkembangan pengetahuan itu sendiri.***

Akhir Januari – awal Maret 2001

Paper ini pernah didiskusikan di Forum Diskusi Bulan Purnama, Jaringan Kerja Budaya (JKB), Maret 2001.

Catatan Kaki:
1Inilah bentuk pertanyaan yang paling ditakuti oleh para mahasiswa komunikasi tingkat akhir kala ia menyiapkan skripsi: “Bagaimana anda bisa mengatakan bahwa skripsi ini adalah skripsi komunikasi?” Persoalannya di sini bukanlah bagaimana ilmu komunikasi bisa menerima bidang kajian tertentu atau topik bahasan tertentu masuk dalam ruang lingkupnya, namun persoalannya lebih menjadi “siapa yang mendefinisikan ‘ilmu komunikasi’ di sini, dalam paradigma apa ilmu komunikasi didefinisikan dan dalam batas mana pula ilmu komunikasi ditentukan”.

2Christopher Simpson, "Science of Coercion: Mass Communication Research and Psycological Warfare 1945-1960," Oxford University Press, 1994.

3Lihat Jay G. Blumler, “Mass Communication Research in Europe: Some Origins and Prospects”, in Michael Burgoon (ed.) "Communication Year Book 5," 1982, h.145-156.

4Seorang sarjana komunikasi kritis asal Belanda, Cees Hamelink, bahkan menyebut bahwa “perkembangan penelitian komunikasi bukanlah hasil perkembangan ilmiah, tapi hasil dari perkembangan kapitalisme Amerika Utara. Dikutip dari Everett Rogers, “The Empirical and The Critical School of Communication Research”, dalam Michael Burgoon, "Communication Yearbook 5," 1982. lihat h.135. Penggunaan lebih lanjut dari perang psikologis yang dikembangkan pada masa perang tersebut kini pada masa modern banyak diterapkan dalam kepentingan-kepentingan bisnis, misalnya dengan strategi pemasaran atau strategi periklanan yang dilakukan untuk menjual suatu produk tertentu. Lihat James E. Combs & Dan Nimmo, "Propaganda Baru: Kediktatoran Perundingan dalam Politik Masa Kini," (terj.), Bandung: Rosdakarya, 1994 (judul aslinya: New Propaganda: The Dictatorship of Palaver in Contemporary Politics).

5Lihat Ronny Adhikarya,"Knowledge Transfer and Usage in Communication Studies: The US-ASEAN case," Singapore: Asian Mass Communication Research and Information Centre, 1983.

6Tentu saja istilah ‘mazhab Amerika’ ini jauh dari tepat untuk digunakan, tapi sekedar untuk memberikan pengertian yang lebih mudah dengan mengacu pada tradisi perkembangan ilmu komunikasi yang cenderung positivistic yang berkembang di Amerika terutama yang berakar pada ‘bapak-bapak pendiri ilmu komunikasi’ seperti Wilbur Schramm (1907-1987), lalu Ithiel de Sola Pool, Harold Lasswell dan lain-lain. Ini sekedar membedakan dengan tradisi Eropa yang lebih berkutat dengan persoalan-persoalan konteks dimana ilmu komunikasi itu berkembang, kaitannya dengan perkembangan masyarakat dan lain-lain. Secara khusus tentang perkembangan ‘mashab kritis’ di Amerika – dengan tokoh intelektual Amerika juga – lihat pada karya-karya seperti Noam Chomsky, Robert W. McChesney, intelektual Canada, Dallas W Smyte, deretan tokoh ini bisa dilihat lebih jauh pada Vincent Mosco, The Political Economy of Communication, London: Sage, 1994. Di Indonesia, karya McChesney pernah diterjemahkan yang berasal dari tulisan pamfletnya yang berjudul Konglomerasi Media dan Ancaman Terhadap Demokrasi (Corporate Media and The Threat to Democracy), Jakarta: Aliansi Jurnalis Independen, 1998. Sekian nama yang disebut di sini, boleh jadi sangat tidak popular dibandingkan dengan nama ‘para pendiri ilmu komunikasi’ atau para ilmuwan komunikasi ‘mainstream’ tersebut. (perluas namanya dan karyanya..) Khusus tentang perkembangan aliran ekonomi politik dalam menelaah media, selain karya Vincent Mosco yang sangat komprehensif, juga bisa lihat antologi 2 volume yang dikumpulkan oleh Peter Golding & Graham Murdock, keduanya pengajar di Loughborough University, UK, The Political Economy of the Media, Chentelham: Edward Elgar Publishing Ltd., 1997. Dalam antologi ini ada nama-nama sarjana seperti Nicholas Garnham, Oscar Gandy, Ben Bagdikian, Edward S. Herman, Herbert I. Schiller, Thomas Guback, Jeremy Tunstall, Cees Hamelink, Armand Mattelart, untuk menyebut sebagian ahli media yang berada di luar jalur ‘komunikasi mainstream’.

7Bagian ini belum bisa banyak memberikan kesimpulan kecuali sekedar memaparkan beberapa fakta bahwa pengaruh Amerika sangat kuat dalam proses pembentukan citra tentang kelompok yang kemudian dikorbankan, dan di sini sekali lagi memperteguh dugaan bahwa CIA punya peran besar dalam proses menjatuhkan presiden Sukarno pada pertengahan 1960-an tersebut lewat berbagai agennya yang bekerja di Indonesia. Bagian ini harusnya dielaborasi tersendiri secara lebih luas. Namun untuk saat ini penulis masih belum sanggup mengelaborasinya sendiri dalam keterbatasan waktu dan tempat.

8Belakangan Marcuse keluar dari grup ini karena adanya perbedaan pendapat antaranya dengan Harold Laswell dalam masalah menanggapi perkembangan politik masa perang dingin. Lihat Simpson (1994) h.29.

9Simpson (1994) h.11

10Simpson (1994) h.6.

11ibid.

12Simpson (1994) h.7

13Simpson (1994) h.9 Di sini kita pun akan ingat dengan beberapa karya yang punya pengaruh besar dalam perkembangan ilmu social di Indonesia, terutama dengan menggunakan pendekatan developmentalis, seperti Daniel Lerner, "The Passing of Traditional Society (1958), atau juga karya Wilbur Schramm (1954) "Process and Effect of Mass Communication" atau juga Mass Media and National Development (1964) Atau juga karya seperti Samuel Huntington (1967) Political Order in a Changing Societies. Tesis-tesis dasar dari karya-karya ini menjadi fondasi dari bangunan pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia.

14Simpson (1994) h.8

15Hal ini mungkin mirip dengan kasus Indonesia pada masa penjajahan Belanda, ketika sejumlah pejabat yang hendak dipekerjakan di Netherland East Indies, harus masuk dulu dalam sekolah Indologi untuk memperkuat pengetahuan mereka tentang tanah jajahan.

15Inilah prinsip ‘objektivitas’ dan ‘bebas nilai’ dari para sarjana yang percaya akan tesis ini, bahwa suatu metode yang ‘objektif’ bisa diterapkan dimana dan kapan saja, dan karena itu ia memperoleh legitimasi sebagai suatu ilmu.

16Di salah satu jurnal Audentia yang dikelola oleh ISKI Jawa Barat pernah ada terjemahan artikel biografi Schramm ini. Di situ pun disinggung bagaimana keterkaitan Schramm dengan proyek-proyek perang dunia II, namun tak pernah ada respon apapun terhadap artikel tersebut dan khususnya yang menyangkut fakta tersebut. Suatu karya lain yang dibuat oleh Everett M. Rogers, ("A History of Communication Study: A Biographical Approach," New York: Free Press, 1994) dalam bagian tentang Wilbur Schramm juga menyinggung bagaimana Schramm punya hubungan dengan kelembagaan-kelembagaan dinas rahasia dan pertahanan Amerika tersebut. Lihat bab 1 ”Wilbur Schramm and the Founding of the Communication Study” h.1-32. Salah satu karya Schramm yang menjadi klasik dan masih dianggap mewakili paradigma utama dalam ilmu komunikasi adalah karya kolektifnya bersama Fred S. Siebert dan Theodore Peterson yaitu "Four Theories of the Press," yang aslinya diterbitkan pada tahun 1952, dan diIndonesiakan sejak tahun 1986. Pandangan klasik terhadap tipologi sistem pers di dunia ini dengan sederhana dikategorikan para penulisnya sebagai: teori pers otoriter, teori pers liberal, teori pers tanggungjawab social, dan teori pers Soviet Komunis. Schramm menulis bagian tentang pers Soviet Komunis. Berbagai kritik terhadap teori ini sudah dikemukakan banyak ahli di Barat, tapi anehnya seringkali kritik ini tidak dijadikan tolak berpikir para penulis yang mengutip masalah ini di Indonesia, padahal ada kecurigaan besar bahwa penulisan buku ini merupakan bias Amerika dalam menilai kawan/lawannya dalam kondisi perang dingin. Selain itu, teori Pers Komunis Soviet sudah harus dibuang jauh-jauh karena kondisi ini sejak akhir tahun 1980-an telah banyak berubah. Karenanya penggunaan teori ini di masa mendatang lebih akan masuk sebagai Sejarah saja ketimbang suatu Ilmu yang cukup relevan dalam memotret perkembangan yang jauh lebih kompleks hari ini.

17Everett Rogers, "A History of Communication Study: A Biographical Approach," New York: Free Press, 1994, bab “Harold Lasswell and Propaganda Analyis” hal.210-211.

18Rogers (1994:212) dengan mengutip Delia (1987).

19Rogers, h.214.

20Rogers, h.224.

21Buku ini akhirnya diterjemahkan dalam bahasa Indonesia pada tahun 1996 oleh Yayasan Obor Indonesia, dengan judul Opini Publik.

22Lihat Simpson (1994) h.16-30.

23Rogers, h.236

24Simpson (1994) h.18

25Ina Mariani Suparto, “Mass Communication and Journalism Education in Indonesia”, in Crispin C. Maslog, "Communication Education in Asia: Status and Trends in India, Indonesia, Malaysia, Nepal, Philippines and Thailand," Press Foundation of Asia & Communication Assistance Foundation, the Netherlands, 1990, h.37. Data tentang mahasiswa publisistik bisa dilihat pada tulisan R. Djajusman, “Sepuluh Tahun Publisistik: Suatu Pengaliran Kesan dan Kenangan”, dalam Publisistik Masa Kini, Jakarta, 1969. Djajusman pada saat itu adalah bekas ketua jurusan Publisistik, dan bekas ketua Lembaga Research Publisistik.Lihat juga pidato Sukarno pada pembukaan jurusan Publisistik, Fakultas Hukum dan Ilmu Kemasyarakatan, Universitas Indonesia, tanggal 12 Desember 1959 (Deppen 1959)

26Oemi Abdurrachman, “Lembaga Pendidikan Publisistik sebagai Fakultas Penuh di Universitas Negeri Padjadjaran”, dalam Publisistik Masa Kini, Jakarta, 1969. Oemi saat itu menjabat sebagai Dekan Fakultas Publisistik Unpad, dan buku ini merupakan peringatan 10 tahun berdirinya Jurusan Publisistik di UI.

27Anwar Arifin, Ilmu Komunikasi Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 1998 (cet ke-4), h.2. Buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1988.

28Djajusman (1969) hal.12-13.

29Arifin (1998) hal.1. Di sini akan muncul pertanyaan kritis, mengapa urusan nama jurusan saja harus diatur oleh Negara, dan atas dasar apa penyeragaman nama tersebut dilakukan. Tapi tentu saja dengan mengenai karakter Negara Orde Baru di Indonesia ini, hal-hal yang seragam lebih merupakan pilihan daripada hal-hal yang plural sifatnya.

30Isu penting yang harus disebut di sini adalah masalah National Security yang dirasakan oleh pemerintah Amerika yang kemudian berimplikasi juga pada pengembangan ilmu social di Amerika. Ada perbedaan pandangan di antara para ahli menyangkut soal ini, terutama berkaitan dengan munculnya studi-studi kawasan yang gencar dibuat di Amerika. Hal yang sangat menarik ini dibahas dalam suatu edisi khusus terbitan Bulletin of Concerned Asian Scholars vol.29 no.1, January-Maret 1997 yang bertemakan: Asia, Asian Studies and the National Security State: A Symposium. Terima kasih kepada Hilmar Farid yang menunjukkan edisi ini kepada penulis.

31Simpson (1994) hal.3.

32Misalnya saja jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Hasanuddin, Sulawesi Selatan telah belasan tahun memiliki jurusan ini dan setidaknya ada dua orang guru besar dari Unhas yang dikenal secara nasional, yaitu Prof. Abdul Muis dan Prof. Anwar Arifin.

33Lihat tesisnya, "The State, the Rise of Capital and The Fall of Political Journalism: Political Economy of Indonesian News Industry," Cornell University, 1991.

34Lihat Harsono Suwardi, “Pengantar Dari Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Massa, FIS-UI”, dalam Pendidikan dan Perkembangan Komunikasi Massa Universitas Indonesia, terbitan dalam rangka 20 tahun Pendidikan Ilmu Komunikasi Massa, Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial, Universitas Indonesia, 1981. hal.7.

35Lihat F. Rachmadi, “Pendidikan dan penelitian Komunikasi Massa: sebuah tinjauan dari sudut kacamata pemakai hasil”, dalam Pendidikan dan Perkembangan Komunikasi Massa UI, 1981 hal.70. Jika diperiksa lebih lanjut hasil karya tulis (skripsi) yang dibuat antara tahun 1963-1979 sebagaimana tercantum dalam buku yang sama, maka ada jumlah yang cukup signifikan untuk menunjuk bahwa studi tentang propaganda banyak mendapat sambutan dari kalangan mahasiswa komunikasi kala itu walau menunjuk periodisasi waktu yang berbeda-beda (jaman Jepang, jaman Demokrasi Terpimpin).

36Knowledge Transfer and Usage in Communication Studies: the US-ASEAN case, Singapore: Asian Mass Communication Research and Information Centre(AMIC), 1983.

37Lihat lagi pembagian yang dilakukan Rogers (1982) antara pendekatan empiris dan pendekatan kritis di atas.

38Di antara para sarjana ilmu komunikasi di Indonesia, setidaknya ada 2 nama yang dikenal sebagai ‘lulusan Jerman’ yaitu Astrid Soesanto dan Bachtiar Aly (kini keduanya anggota parlemen). Yang perlu diberi catatan di sini adalah, ‘lulusan Jerman’ sekalipun bukanlah jaminan bahwa karya yang dihasilkannya akrab dengan pemikiran kritis yang dimulai dari tradisi neo-Marxis. Astrid Soesanto yang pada tahun 1980-an aktif menulis buku lebih menunjukkan pendekatan pada sosiologi yang agak konservatif, dan cenderung lebih menjadi birokrat, sementara Bachtiar Aly yang menulis disertasi soal sejarah media massa di Indonesia juga tidak cukup kenal dengan tradisi kritis tersebut. Disertasi Aly ini berjudul Geschichte und Gegenwart der Kommunikationssysteme in Indonesien, eine Untersuchung zur publizistischen Entwicklung, Peter Lang: Frankfurt am Main, 1984. Ruang waktu yang dibahas oleh Aly di sini adalah antara tahun 1596-1983. Tesis ini dikomentari oleh Daniel Dhakidae (1991:14) sebagai “It sets itself an impossible task for a communication’s study with the impossible term of, 1596-1983… Despite, or rather because of, its author’s statement that it takes a historical-descriptive metode, it is more a repository of loosely connected events and figures seen in a highly electic way, a hodgepodge of variety of ways of seeing – journalistic, political, cultural and legal – looking into a vast array of communications media such as newspapers, radios, televisions, films, shadow plays, literature, music, all treated in one big stroke”

39Pada decade 80-an perkembangan ilmu sosial masih banyak dipengaruhi oleh dua paradigma besar yang saling berhadap-hadapan, yaitu pendekatan modernis (developmentalis) dan pendekatan dependensi. Tanpa harus terjebak pada dikotomi tajam kedua pendekatan ini, kajian-kajian mikro dalam komunikasi bisa juga menunjukkan bahwa ada proses yang tak seimbang dari produksi dan distribusi produk industri komunikasi di dunia ini. Kita akan ingat gagasan besar yang dikemukakan oleh Komisi MacBride dari UNESCO pada tahun 1974 yang menulis risalah soal tata komunikasi dan informasi dunia baru. Tapi kemudian sarjana lain seperti misalnya Ronald V Bettig, salah satu generasi baru dari tradisi kritis ilmuwan komunikasi di Amerika menulis kajiannya soal industri copyright di dunia yang juga dengan jelas menunjukkan bahwa ada struktur yang tak adil dalam dunia ini dan menempatkan negara dunia ketiga dalam posisi yang terus kalah dengan negara industri maju. Lihat Copyrighting Culture: The Political Economy of Intellectual Property, Boulder: Westview Press, 1996.

40Misalnya saja perdebatan penting soal industri kebudayaan yang dikemukakan oleh Horkheimer dan Adorno mendapat kritik tajam oleh para sarjana lain, terutama yang berkait dengan persoalan imperialisme budaya yang terjadi lewat industri kebudayaan. Topik ini menjadi penting karena merupakan salah satu isu sentral ketika membahas soal komunikasi internasional ketika bicara perimbangan informasi yagn didapat oleh negara dunia ketiga, yangkemudian memunculkan gerakan pada tahun 1974 yaitu New International Information Order dan dibentuknya Komisi Sean MacBride dari UNESCO.

41Lihat footnote no.6 di depan dimana saya menyebut sejumlah tokoh pendekatan ekonomi politik komunikasi muktahir. Nama-nama tersebut banyak terdengar asing di telinga para pengajar atau mahasiswa komunikasi di Indonesia.

42Yang saya maksud di sini adalah kelompok Sub-Altern Studies yang dipelopori oleh Ranajit Guha, lalu Dipesh Chakravarty dan lain-lain. Tiap tahun kelompok ini menerbitkan buku khusus kajian baru atas sejarah India dari versi ‘orang dalam.’

43Saya memeriksa setidaknya beberapa jurnal bernama Publisistik (madjalah ilmiah bidang komunikasi massa, diterbitkan oleh Lembaga Pulibsistik, Fakultas Ilmu Sosial UI) pada tahun 1970-an, lalu jurnal ISKI (Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia) dan juga jurnal Audentia (diterbitkan oleh ISKI Jawa Barat), keduanya terbit pada decade 1990-an. Juga saya melihat 2 buku penerbitan ulang tahun jurusan Ilmu Komunikasi, FIS UI pada tahun 1969 dan 1981.

44Tentang proses kampanye mencitrakan keterlibatan Gerwani dalam peristiwa G 30 S lihat mulai dari halaman 511-549.

45Dengan memeriksa daftar koran yang terbit antara tahun 1965-67 yang dilakukan oleh Roger K. Paget, maka saya menemukan tak kurang dari 13 koran yang ada di Indonesia dengan nama Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha di beberapa kota di Indonesia. Silakan periksa pada artikel “Indonesian Newspaper 1965-67”, Indonesia no.4, 1967. Tigabelas Koran ini belum termasuk dengan Koran lain yang juga berafiliasi secara tidak langsung dengan Angkatan Darat. Lalu yang juga menarik adalah apa yang terjadi pada Koran Pikiran Rakjat di Bandung. Koran ini pada periode awalnya (1951-1965) dikenal sebagai Koran pendukung Sukarno, yang dipimpin oleh Djamal Ali dan Asmarahadi. Namun ketika gejolak politik tahun 1965 naik ke permukaan, Koran ini sempat ditutup dan baru kembali terbit pada tahun 1966 “setelah mendapat bantuan dari tentara Siliwangi” yang hendak menerbitkan Koran Angkatan Bersenjata edisi Jawa Barat. Jadilah kemudian Koran ini memiliki afiliasi tidak langsung dengan Angkatan Darat, yang sejak tahun 1983 dipimpin oleh Atang Ruswita. Lihat Suwirta, “Wacana Kritik Media: Kajian atas harian Pikiran Rakyat”, Wacana vol.1, no.2, Oktober 1999.

46Ada tiga tulisan yang dimuat Kompas tanggal 9 Februari 2001, “Bung Karno di Tengah Jepitan CIA” (hal.25), “Perang Urat Syaraf yang Mematikan” (hal.26) dan “Ketika CIA menggusur ‘Diktator Komunis’” (hal.28)

47Lihat terutama tulisan “Perang Urat Syaraf yang Mematikan”

48Kalau membandingkan dengan tulisan Simpson (1994) ada sejumlah negara yang pernah jadi target operasi rahasia CIA, misalnya Indonesia, Chile, Puerto Rico, Italy, Perancis, Kuba, dan negara bekas Uni Soviet.

49Tentang hal ini bisa dilihat pada skripsi seorang sarjana komunikasi dari UGM, Budi Irawanto, yang kemudian dibukukan Film, Ideologi dan Milite: Hegemoni Militer dalam Sinema Indonesia, Analisis Semiotik terhadap ‘Enam Djam di Jogja’,’ Janur Kuning’, dan ‘Serangan Fajar’, Yogyakarta: Media Pressindo, 1999.

50Dalam tulisan “Media Control”, diambil dari situs: http://www.worldmedia.com/archive/talks/9103-media-control.html. Diringkas dari artikel Alternative Press Review, Fall 1993

51Lihat juga kritik yang diajukan oleh Herbert I. Schiller, Culture Inc.: The Corporate Takeover of Public Expression, Oxford University Press, 1989.

52Tulisan ini merupakan pendapat Michel Foucault dalam buku Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972-1977, New York: Pantheon Books, 1980, sebagaimana dikutip oleh George Junus Aditjondro, “Pengetahuan-pengetahuan Lokal yang Tertindas”, Jurnal Kalam no.1, 1994.