LELAKI TERPILIH (BAG 1)
Hymne Of Soul : … Aku percaya! hingga saat ini, akulah ‘lelaki terpilih’ itu, dan karenanya, aku tak perlu gusar ataupun gelisah, apalagi takut kehilangan eksistensiku sebagai sesuatu yang hidup, dan kehidupan yang hidup, sebab aku tercipta atas sejuta doa dan keinginan yang terkristal menjadi sebuah harapan, dan harapan atas pengharapan mimpi-mimpi mereka, dan mimpi-mimpi itu adalah aku! Ya, aku lelaki yang tergaris sebagai pemegang Tongkat Arya!...
Ada sebuah pertannyaan yang di uraikan sejak awal terbentuknya kosmik ini, bagaimanakah kita membuat keseimbangan hidup ?, gradasi yang halus dan segala yang tak memahat bekas, tak pernah mengguris menjadi luka pada sejarah ?, sebab luka yang terabit pada lembaran sejarah akan menjadi gap yang mega dahsyat dan menakutkan, itu adalah sketsa awal perpecahan dan kehancuran, makhluk hidup tidak lagi menjadi satu ikatan moral yang utuh, mereka terpecah-pecah dalam ego kelompoknya bahkan ego pribadinya, aku yang butuh pengakuan dan pengakuan atas aku. Perang, kelaparan, kebinasaan, penghancuran, pembunuhan, penjarahan, pemerkosaan, kehancuran moral akan terjadi dimana-mana, dan itu hanya menjadi segelintir kecil fenomena sosial pada masa itu. Benturan sosial yang tersistematis, dengan propaganda yang mutakhir, dengan pemakaian tekhnologi tercanggih sebagai alat penghancuran yang mampu melahirkan bencana terdahsyat, distorsi informasi tidak lagi sekedar pemalsuan berita melainkan sudah menjadi hipnotis syndrome yang mengkaburkan akal dan logika, benar bisa menjadi salah dan salah bisa dibenarkan, otak selalu berada dalam kawasan abu-abu, dengan sinyal radiasi mikro atom yang ditanamkan melalui partikel udara yang kapanpun bisa diaktifkan, sesuai dengan keinginan sang penguasa, jika sang penguasa ingin kita membunuh maka kita akan membunuh, jadi apapun keinginan sang penguasa kita tak bisa melawan. Kemanusiaan akan menjadi barang prasejarah yang di pamerkan dalam museum peradaban yang biadab, atau mungkin menjadi barang bekas yang tak berbekas dan layak disandang atas nama agungnya kekinian. Saat itulah, mereka akan berteriak-teriak : Kembalikan bumi kami yang dulu, bumi yang penuh keselarasan, bumi yang penuh keseimbangan yang dan yin! Ketika tiga element hidup terlepas dari pengakuan, atas alam, manusia dan klausa prima, terjerembab disudut usang dogmatisme semu terbungkus halimun Gunung Sindur. Dan esok prajurit itu cuma menggumam : Sayang, itu sudah habis dimakan keserakahan dan ketamakan mereka sendiri! Keserahan dan ketamakan itu dikibarkan dengan bendera-bendera suci dimana yang lemah dan bodoh selalu menjadi pendukung dan penjaga bendera-bendera suci itu, eksotisme memilukan! Lalu mereka dengan merengek-rengek dihadapan wajah langit, berteriak, kemana Yang Terpilih itu? Mereka tanya kemana? Kan lucu!, bukankah mereka sendiri yang membunuh keagunganNya, mengecingi Mushaf suciNya dengan air kencing kesombongan. Sekarang, menangislah wahai anak bumi selatan yang lemah dan bodoh! Terbangunlah jagat raya dalam enam satuan waktu, yang di dalam setiap satuan waktu itu ada yang terpilih menjadi Sang Terpilih, dari satu Terpilih ke Terpilih yang lain. Jika dari sepermilliar hanya ada satu Terpilih, kemudian Sang Pemilih memilih satu untuk menitahkan keabadiaanNya, dan Sang Terpilih membawa satu mimpi ke-Esa-an dan ke-Besar-an Sang Klausa Prima, dengan jurus dogmatis langit dan tarian nirwana yang memabukkan, maka tunduklah kalian yang merasa lemah dan bersimpuh menurut kehendakNya, sebab tak ada kehendak bagimu, kau hanya boneka satir yang di buat tanpa ruangan keinginan, ya hanya pasrah sepasrah-pasrahnya. Takdir! Iya, itulah alasan yang kau sampaikan setiap kali kalian tak kuasa mengahadapi rintangan hidup. ‘Ini bukan putus asa’, katamu, ‘ini adalah kesabaran menerima kenyataan’. Padahal kau tak pernah membuat atau sekedar berusaha menciptakan kenyataan itu sendiri. Ia, atas nama yang Hak, kesadaran dan logika berpikir dibunuh di kamar belakang rumah tua yang gelap. Kalian telah menjadi hanya sekadar barang kosong tanpa isi, hidup tapi tak mampu menghidupi, hidup tapi tak memiliki kehidupan. Tapi mengapa sekarang merengek menangis memohon? Apakah kesabaran itu telah kalian barter dengan gandum dan jagung, atau kalian sekarang sedang tenggelam pada samudera keterputusasaan yang kalian buat sendiri? Lihat langit barat ! Mereka begitu digdaya, bangsa Inggolr yang perkasa. Menundukkan tujuh samudera, menaklukan api iblis timur, mereka benar-benar perkasa dengan tentara besinya. Kalian di sini, tetap dengan wajah suram tanpa kekuatan menciptakan masa depan, hanya bisa menatap kesombongan cahaya dari barat dengan air liur yang menetes, bagai naga selatan yang tertidur di gunung amblogar. Lihat, matahari timur tampak begitu suram dan memilukan! Kedunguan telah menjadikan kalian sampah pada kardus–kardus industri, kalian terbelenggu pada apa yang dinamakan kegilaan paranoidas kekuasaan. Kekuasaan telah menjadikann kalian tumbal bendera yang kalian kibarkan. Membunuh atau terbunuh hanyalah produk dari apa yang dicita-citakan. Jika lemah matilah dia, sebab ia tak memiliki bendera mayoritas,. Dan jika kuat, dan harus menjadi kuat, agar bisa berbuat dengan apa yang dinamakan resiko. Berbuat apa saja yang mampu dianggap sebagai keangkuhan kosmopolitan dan keagungan langit atas sebuah budaya tradisional agraris, yang terbungkus kegelapan kemiskinan dan kebodohan, padahal kalian bukan yang Terpilih. Kalian hanya debu yang terombang-ambing angin, yang dimanfaatkan oleh setan-setan berjubah malaikat. Dan tanpa kalian sadari, wahai Bangsa Langit Timur, hal itu menguntungkan bagi iblis-iblis industri Barat. Dan sewajarnyalah kekalahan bagi kalian yang bodoh dan lemah, atau sekedar berpura – pura lemah agar tertetes sejuk embun suci arzam., sebab malas meraih hasrat ataupun memang karena hal yang lain, dan itu telah mengebiri kalian pada kasta sudra. Lalu kalian mau apa? Mengeksploitisir dan mempolitisir kemiskinan hingga menjadi senjata mutakhir yang sanggup meluluhlantakkan perasaan dan emosional global? Hahahahah…. BODOH ! Dasar miskin ! Kere ! Goblok ! Secara apapun, kalian tetap akan kalah! Mereka memiliki jaringan global yang hebat serta didukung oleh teknologi super canggih. Ya, itulah jaring laba-laba kapitalis , yang bisa menembus di segala lini kehidupan, bahkan kebutuhan akan kehidupan itu sendiri adalah produk dari mega proyek ‘global trade’ mereka. Dan bahkan kemiskinan, adalah salah satu brand yang di buat oleh iblis barat, sehingga segala keterbelakangan yang ada pada diri kalian ternyata adalah kebijakan sistemik yang dibuat. Lalu, dengan kekuatannya, mereka memberi kalian sedikit air imajiner yang memabukkan, yang lalu dari sedikit pemberian itu mereka mendapat gelar Dermawan, Dewa Penolong, Sang Utusan, Ksatria Inggolr, serta apapun istilah yang dapat menggambarkan keagungannya.. Sedangkan, kalian itu apa ? Kalian hanya menjadi tali-tali rapuh yang dikuatkan oleh mimpi konsumerisme barat, yang jika tali rapuh itu putus, maka kau hanya akan dikenang sebagai sampah kemiskinan dunia ke tiga! Selamat, anda kalah !, Hahahahah…….!!!!! Kemanakah bendera-bendera yang memberi kalian mimpi? Kemana mereka saat kalian membutukannya? Ya, mereka bersembunyi sambil membawa sepotong roti dan sebotol anggur. Mereka berpesta kecil tanpa peduli pada nasib dan kesengsaraan kalian! Padahal, kalianlah yang dengan gagah berani mengorbankan apa saja demi bendera-bendera suci itu. Kalian harusnya bediri mengambil pedang atau apapun untuk membunuh mereka, yang selama ini bersembunyi di balik jubah panjang dan jenggot yang terurai! Mereka sebenarnya, tak lebih dari seekor tikus bersuara anjing! Song Of Memories Teralunlah nada senja Tanpa syair Sebab kata – kata telah mati Terkoyak ditepi mimpi, dan… Nada senja Terbait di bukit senja Kata – kata mati terkoyak mimpi Di tepi, dan aku… Bait kata terukir di atas dendam Matilah kata – kata tanpa makna Mimpi terkoyak masa lalu Menepilah, sebab aku dan kau… Kata – kata apa yang terbait di atas dendam ? Mimpi akan senja, dan aku takut ! Masa lalu tak sekedar menjadi kenang Ia mengoyak sepucuk perasaan, dan kau berlalu … Terkenang terimpi – impi Atas senja perasaan takut, menggaung di tepi kenangan Sekedar masa lalu mengoyak, berlalulah kau Tak ada tepi kau bersandar, dan aku… Dan aku tak pernah mengenang Kau sendiri mengoyak persaanku Terseret arus masa lalu Mari menepi di batas senja esok hari Andai saja ada esok itu Maka kenanglah, aku tak sekedar masa lalumu Tepi kesadaran tergerus Takut amat menakutkan selamat tinggal kenanganku ! Seorang anak miskin Afrois berlari, pada hamparan padang gersang…. Tubuhnya yang legam terlalu kering untuk di anggap sebagi hidup. Dia tak lebih baik dari pohon apel kerontang di padang gersang, atau sekedar ilalang dimasa paceklik. Tulang merangga,s tergambar pada kulit gelapnya. Eksotic ! Very – very eksotic ! Kemana doa-doa ibu bapa kami ? Entahlah… Seorang Inggolr kaya hanya mengintip dari villa mewah dikawasan Mosair tua, dan berkata, ”Hmmm….. Arak ini begitu dahsyat !” Bagi mereka, ini adalah pemandangan yang bisa dijadikan komoditas dagang. Mereka, dengan slogan misi kemanusiaan, akan menjual kenyatan memilukan ini pada ingglor-ingglor kaya di Dunia Biru. Dan dia, akan menikmati keuntungan yang besar dari misi kemanusiaannya itu. Ingglor Bangsat! Di depan sebuah puri indah, keledai itu gusar segusar tuannya, dan mungkin bertanya pada hatinya; “Apakah aku lebih beruntung dari tuannku? Sebab untuk sekedar makan tuannku harus berpikir jutaan kali… Hmm…..Memilukan!” gumam keledai bodoh itu. Harus ada juru selamat, nabi, mesiah atau apapun yang sanggup, bahkan lebih dari sanggup, untuk menjadi penolong bagi jiwa – jiwa yang lemah itu ! Tidak sekedar slogan, atau bahkan ideologis, mereka butuh makan, walau sekedar ketela atau singkong. Ya, sesuatu yang realistis, bukan mimpi-mimpi surga. Walaupun indah, kalau hanya mimpi, buat apa? Tapi, terkadang apa yang menjadi mimpi itu kita sakralkan bahkan sangat keramat, sehingga segalanya tak lagi memiliki arti, lalu…matilah saja otak keledai! Keledai itu,dengan tatap sepi, menengadahkan hati, rasa, jiwa kepada apa yang ia namai YANG KUDUS ! Email Doa Sang Lemah Aku hanya badai tanpa gemuruh Kilat tanpa cahaya Getir tergetar Hati ini Aku sangat lemah teramat, dan… Kau yang nama-namamu Kusebut dengan sejuta takzim Pasrahlah apa yang dapat dipasrahkan Aku terhampar luluh… Sentuhlah aku dengan setetes air suci Terkuduslah aku yang meminum darahmu Dari sayatan pesakitan yang kau derita Aku lapar bapa.. Lapar ini menyadarkan aku betapa seorang hamba harus ikhlas dalam setiap derita ,toh engkau telah memberiku pertauladanan atas sebuah pengorbanan, bantulah aku dengan tanganmu… dan takan ada yang kutakutkan sebab aku terlindung dikepakkan sayapmu, amieeennnnnnn…….!!!! Itulah doa – doa Si Bodoh, atas nama apa yang di keramatkan. Bahkan nama kelaparan akan lenyap, sebab hanya dengan mengingatnya kau akan terlepas dari lapar dan dahaga. Orang – orang itu tak pernah takut atas kematian, sebab itu adalah hal yang sangat– sangat biasa mereka lihat. Hanya ada kepasrahan batin, ikhlas! Ya, ikhlas yang luar biasa. Aku hampiri keledai bodoh itu, keledai itu ketakutan melihat cahyaku, dan aku hanya tertawa. “Hahahahahahahahahahahahah…………………!!!” "Tak seharusnyalah sebuah kepercayaan kau tertawakan wahai Lelaki Yang Disinari Kemilau Cahaya!” “Sungguh, aku tak tertawa atas apa yang kau dan mereka percaya, wahai anak– anakku !” "Tetapi, mengapa kau dengan angkuhnya, tertawa diatas mimbar dan altar para pemuja kesucian !”…. “Sebab, Yang Suci tak sepantasnya disucikan ! Lihatlah atas apa yang mampu engkau lihat! Dengarlah, atas apa yang mungkin…… Ah! Engkau enggan untuk mendengarkan!. Ketika anak – anak itu menangis lapar, menangis karena tragedi kematian, atas mesin pembunuh dari Bangsa Langit Barat, apakah Yang Suci bisa bertindak atas nama ‘Akulah penguasa alam semesta !’ “Tapi, wahai Yang Disinari Kemulian Cahaya ?”….. “Mari ikuti aku, aku akan mengajak engkau kepuncak Bukit Yaspha!” “Untuk apa aku harus ikut denganmu?”…. “Sebab akulah Yang Terpilih yang kau impikan itu! Sudahlah Moses Bodoh! Ikut saja seperti engkau mengikuti Ayat – ayat Yang Suci! Dan, kau kan juga tak pernah bertanya, mengapa harus begini atau begitu?” “Baiklah, aku akan mengikutimu dengan khidmat!”….. “Ýah, sudah seharusnyalah seperti itu, wahai Keledai Bodohku!” “Tapi, Tuanku, ada apakah di Bukit Yaspha, hingga aku harus kesana?” “Bukit itu adalah pertalian suci antara aku -Yang Terpilih- dengan kalian yang menggantungkan asa pada ku, karena kelemahan dan kebodohan berjamaah kalian!” “Tuanku, adakah disana, akan aku temui kemuliaan abadi?” “Kemuliaan itu hanya untuk orang – orang yang mempercayai bahwa kebenaran itu tak pernah absolute. Kebenaran selalu berpijak pada ranah relatifitas. Apapun kebenaran itu, hanyalah sebuah argumen penafsiran belaka dan tak seharusnya diimani secara mati-matian, sebab itu dapat merusak alam kesadarannya sendiri. Jika kau ingin mulia, raihlah cahaya di tanganku ini dan katakanlah, bahwa kita bisa terbang bebas membunuh dewi malam !” Aku angkat wajah sunyi itu keatas pundak Mospher, serigala surga yang aku rebut, ketika aku berhasil membunuh Illois, sang penjaga pintu akhirat. "Ayo, kita mengarungi jagat dengan kebanggaan!" Kebanggan sebagai apapun! Walau kebanggan menjadi ego busuk, toh, tetap saja kesombongan adalah jutaan mega cahaya, yang menerangi hantu kegelapan yang menyelimuti jiwa – jiwa kalian. “Mospher, ayo terbanglah dengan sayap gagahmu! Terbangkan panglima tangguh ini untuk mengangkat Sang Bodoh dari kegelapan Yang Suci!" Secepat kilat, Mospher terbang seperti Si Barak yang mengangkut Pangeran Yang Suci pada peristiwa ‘Kenaikan’. “Kemana kita akan pergi, wahai Tuanku?” “Kemana hatimu berkata, maka puncak abadi akan kau temukan!” “Tapi,, Tuanku…?” “Apa yang membuat engkau tak mampu berkekuatan hati ?” “Jantungku terluka, Tuan! Plitus, Sang Raja Kegelapan, menyerangku dari sudut dimensi ruang hampa,mengoyak rasaku…. Dan seolah aku lupa segalanya! Ah…., aku takut sekali, tuanku”…. “Hahahahahah….!!!!!” “Mengapa Tuanku tertawa? Adakah yang lucu? Atau hanya kebodohan seorang hamba, yang dimata tuannnya selalu menjadi hal yang enak untuk di tertawakan, Tuan…..?” “Kau akan sangat patut ditertawakan oleh keangkuhan angin. Sebab apa ?” “Entah ???!!!” “Goblok!!! Kau patut ditertawakan karena kau tak memiliki sesuatu yang mampu menjadi jiwa, dan jiwa yang mampu menjadi matahari. Sebab, hanya yang memiliki letup cahaya yang berhak untuk menyombongkan diri di depan para putera langit, yang beribu hasta telah mereka sembah!!!!” “Tapi, apakah tiada pantas mereka takzim pada Putra Surgawi ?” “Tidak! Sama sekali tidak! Sebab telah ada aib di wajah mereka, dan apakah yang seperti itu layak diagungkan, Mospher ???!!!!” Mospher dalam samudera kebingungan! Serigala dungu itu tak sanggup memahami sabda-sabdanku. Yang Terpilih itu telah sampai diatas bukit. Kulihat, mereka kagum padaku. Yang Terpilih….! Ya, akulah Yang Terpilih, lelaki yang di pilih atas kehendak pribadi ataupun karena kelemahan kolektif. Dan aku harus berjalan di depan, atau barangkali jauh di depan. Sebab mereka takkan mampu sejajar apalagi berbanding dengan ‘Lelaki Terpilih’. Aku di pilih untuk memberi kekuatan mega atom energi keberanian bagi kalian semua. Untuk apa? Untuk melawan, melawan apa saja yang pantas untuk dilawan ! Atau mungkin membunuh untuk apa saja yang di sebut pantas untuk di bunuh ! Percayalah, kalian akan mati jika aku pergi! Menghambalah ! Memohonlah, seakan – akan kalian tak sanggup bediri tanpa kakiku! Toh, itu yang sering kalian lakukan kepadaNya. Dan Dia-lah juga yang membunuh rasional logika kalian. Kalian adalah keledai Phirus yang bodoh ! Sebodoh sudra Indis ata budak Afro. “Lihat itu ,Mospher! Orang – orang memandangi kita dengan begitu takjub. Hai anakku, bangunlah! Lihat gemilang cahaya kita menusuk mata mereka dengan sejuta takjub !” “Tuanku,mengapa kau lemparkan kerudung sucimu ?” “Ya, mereka harus menerima ini sebagai hadiah kebenaran dari aku, Sang Terpilih!” "Tuan, mereka bermunajat padamu !” “Ya itulah seharusnya, sebab mereka akan merasakan kebahagiaan yang segar seperti apel yang baru dipetik dari pohonnya”…. "Tuanku ! Tuan harus menemui mereka!” "Ya, turunlah, agar mereka dapat menyentuh kesucian nurku!” Turunlah aku menghampiri wajah-wajah yang menyenja. Air mata kerinduan itu tak terbendung, senyum dahaga menengadah menatap oase. Ya, selama ini yang mereka tatap adalah fatamorgana, kesemuan abadi, dan mereka seolah menemukan air kebenaran. Aku lihat mereka satu persatu. Mereka terlalu ikhlas, hingga mereka begitu rela ketika tersandar titik sandar yang paling beku. "Kemarilah! Mendekatlah kalian ! Ya, semakin dekat! Agar kalian bisa merasakan kehangatan kasihku !” Mereka berjalan sangat pelan, teramat pelan. Ini bukan ketakutan ataupun kebimbangan. Ini hanyalan ketakjuban yang tak pernah mereka kira, akan datang kemuliaan yang di impikan, tatap yang polos dan lugu, aku bisa merasa keikhlasan nafas mereka…… Hmmm…... Tak pernah aku rasakan nafas seperti ini. Angin-angin roh yang terombang ambing ketidaktahuan, spiritualitas normative yang terbangun turun temurun, keimanan yang terbangun pada pondasi yang rapuh. Oh…., jiwa-jiwa ini terlalu lemah untuk menghantam kesombongan hidup. Kesadaran tak terbangun bukan karena lalai tapi karena mereka 'terpaksa' . Ya, mungkin sangat terpaksa ! Ideology magnetic, takkan bertahan lama! Akan aku ikhtibarkan kebenaran agung, lalu mereka akan menjadi periwayat sajak suci yang di tulis dengan tinta gunung merapi Kholixing. Perjumpaan Dengan Laila Diantara kerumunan manusia itu, seorang perempuan tua telanjang dada menghampiriku, rambutnya panjang terurai memutih, terbang mengikuti angin selatan. Pada gerut kulitnya, jelas kulihat beban berat di sandangnya,. Matanya menatap aku dengan gerimis rendah pertanyaan, dia berjalan perlahan, lalu memegang jubahku. Dada itu telah rata , geriput senja, dulu ia memiliki kenangan air gangga yang suci, memberi hidup dan kehidupan pada seribu putra ilalang… tapi kini, ah… "Wahai engkau yang bercahaya kemuliaan, siapakah engkau?”, perempuan tua itu bertanya dengan tatap yang dalam. "Lailaku….!”, aku memanggilnya. Dia lalu terduduk, jiwanya bergetar. Aku dekatkan tanganku dikepalanya, lalu kubelai rambut panjangnya yang memutih, dia lalu menatapku kembali, kini tatapannya semakin dalam, sedalam api pengharapan atas kering gersang pohon anggur di padang pasir. “Sang Penerang….?”, tanyanya ragu. Lalu kukecup keningnya, dan aku bisikkan, “Aku adalah api suci bumi ke tujuh!” Suaraku demikian lirih. Ia tergetar! Air matanya leleh! Lalu, mendekapku erat! Sangat erat! Seperti tali perjanjian, ohhggg….! Inilah kebahagiaan yang tak pernah mereka rasakan. Api suci menghangatkan mereka dari kebekuan yang membunuh otak dan organ tubuhnya. Ya! Mereka merasakan setitik hidup dari hembusan napasku. “Laila, pegang tanganku! Mari berjalan hingga sudut yang tergelapkan!”, kataku. “Mengapa tuanku memanggil aku, Laila?”, tanyanya. “Laila adalah sebuah nama, dan tak sekedar nama sebab ada berjuta makna di dalamnya. Kelak, engkau akan tahu mengapa aku memanggilmu Laila!”, jawabku. Ia tetap saja pada laut kebimbangan. Lalu, aku berteriak pada jiwa-jiwa gelap itu “Dengarlah! Akan aku ajak Laila mengembara hingga putaran kedelapan matahari. Esok, dia akan diantar matahariku kembali pada kalian, membawa lentera merapi dan memberi penerang yang sejuk, serta mampu melepaskan kalian dari dahaga abadi kebodohan! Sekarang, Kembalilah pulang! Lalu, tunggulah kedatangan Lailaku pada sudut jendela rumah kalian, dengan seribu keyakinan akan kedatangannya kembali dengan membawa apel merah, yang nikmatnya mampu membawa kalian terbang hingga ke tekak leherku!”, teriakku. Lalu aku sebarkan segumpal salju yang menjadi embun dan membasahi wajah lelah mereka, sementara mereka akan sedikit tenang dengan embun air bersajak itu. “Mari, Laila! Naiklah keatas pundak Mospher dan kita pergi Negeri Laut Tenggara! Di sana, telah menunggu mushaf kebaikan umtukmu yang kelak akan berguna bagi kaummu!”, titahku kepadanya. Dan kamipun terbang memulai pengembaraan panjang, memberi pengajaran atas hidup yang harus dipertanggungkan serta beban rebulan jingga dipelataran suci para ahli kitab. Dalam awal pengembaraan, kulihat Lailaku selalu terdiam pada dinding kesunyian. Aku biarkan saja. Mungkin, ia sedang melakukan kotemplasi panjang atas apa yang akan dan sedang ia alami. PERENUNGAN LAILA : Aku tersapu embun senja, menghentakkan diamku. Aku terbangaun dari mimpi panjang yang dingin. Terlalu lamalah aku membeku pada kebisuan nurani, gelap tanpa lentera. Mimpi ketakuatan pada bayanganku sendiri, yang menjadi monster ruang tidur, seperti anak kecil bermimpi hantu di bawah ranjang… Seram! Lamalah aku ingin terjaga, terjaga dari surga palsu, yang terbangun diatas pondasi lapuk rumah bangunan tua di pinggir hutan cemara. Aku hanya seorang perempuan! Ya sekedar perempuan yang digariskan menjadi lemah dan dilemahkan. Aku tak terkuasa untuk sekedar mengangkat kepala, sebab perempuan tak selayaknya menampang, Ia harus menjadi bunga di meja sebelah ranjang, dipajang, jika usang terbuang! Itulah nasib yang harus di amini, tanpa kata tidak! Sebab kata iya adalah ibadah. Dalam tiap mimpi nyata itu itu aku tersujud syahdu pada keabadian yang hening cenderung bisu. Aku mencari setetes air dari telaga cahaya, setetes saja, ya setetes saja tak perlu banyak. Untuk melepas dahaga panjang ini. Aku lelah dalam tidur beribu malamku. Lelah itu membuatku lemah, tak punya jiwa berenergi. Padahal energi adalah kekuatan kehendak! Kehendak untuk bediri, berjalan bahkan berlari. Tak sekedar menjadi garis lurus, aku terkadang ingin menjadi kurva keatas ataupun kebawah, tercebur sedih, toh itu sedihku sendiri, bukan sedih dan kebahagiaan dari sedekah pemberian para Pillatus Jantan! Aku harus bangun dan merebut pedang suci itu lalu akan kuhujamkan pada jantung tiap Pillatus agar mereka paham bahwa darah mereka tak lebih berharaga dari darah kaumku! Tapi, apakah memiliki daya itu, tau sekedar berharap memilikinya?.... Seumpama pagi, aku tak mengingkan aromanya, sebab ia menguras seluruh perasaanku. Aroma pagi telah membunuh asaku pada senja. Perumpamaan aku berlari kebarat, tajamnya cahaya siang menusuk seluruh rasaku atas langit merah di ufuk barat. Terhempas badai angin timur lebur pada gerimis, adakah kesadaran mampu mengangkatku dari semua kenangan ini….. Sekali lagi aku hanya perempuan yang berkeluh kesah! Lelaki ini,… Mengapa cahaya begitu sejuk, aku merasa nyaman, seolah bernyanyi kecil pada minggu pagi. Ohg…lelaki ini memiliki segalanya untuk dibilang lelaki. Ia tak sekedar lelaki, ia memiliki kata-kata sesegar anggur merah, ia memiliki sorotan mata yang mampu meluluh lantakan gan gunung es, ia meiliki senyuman yang menghangatkan jiwa-jiwa beku, ya! Ia memiliki apa yang lama aku nantikan. Seribu cahaya pengharapan! Diakah lelaki terpilih itu? “Wahai cahaya surga, adakah kau diutus untuk memberi air kehidupan bagi jasad-jasad kering ini?” tanya Laila. “Oh…ternyata engakau telah terjaga dari lamuanan seribu hastamu! “Sesungguhnya, siapakah namamu?” tanya Laila. “Pentingkah! “Bukan masalahnya Penting atau tidak! Masalahnya apalah arti aku menyapamu tanpa mengenalmu, wahai lelaki!”kata Laila. Aku terdiam, lalu aku tatap matanya dengan sangat tajam dan sejuk. “DEMI SUKMA SERIBU PIJAR CAHAYA! Panggil saja aku Sang Lelaki! Lelaki yang tergaris sebagai pembawa kabar langit, yang bertanggung jawab atas cahaya langit dan bumi, sang pemberi jawab atas segala tanya” “Wahai yang menjadi cahaya kehendak, atas apakah hidup ini harus di gantungkan?” tanyanya. “Atas apa yang sanggup dibilang hidup, wahai Lailaku!” “Apakah yang sanggup dibilang hidup itu, wahai sang mentari pagi?” balasnya bingung. “Yang sanggup dibilang hidup, adlah apapun yang mampu memberikan kehidupan pada yang lainnya. Ketika sesusatu yang memiliki hidup itu memiliki nilai manfaaat bagi yang lain, maka iya lebih berharaga daripada para malaikat berjubah itu!” “Jadi…” dia terlihat makin bingung. “Jadi apakah bisa dianggap hidup seseorang yang tak memiliki nilai hidup bagi manusia yang lain, bukankah hidup adalah air kehidupan itu sendiri. Maka hanya pada merekalah engkau dan kaummu berasa!” (BERSAMBUNG, MAAP!)