Seandainya saja aku
Seandainya saja aku Aku duduk di halte depan sekolahan, aku menunggu temanku si Habib. Tapi entah kenapa ia belum datang juga hari ini. Padahal kita sudah janjian jam 07.00 dan sekarang sudah jam 07.18. untuk mengatasi rasa bosan, aku melihat mobil-mobil yang melintas didepanku. Tak sengaja kulihat mobil merah mengkilap dan kelihatannya itu baru. Aku membayangkan seandainya saja aku memiliki mobil itu dan mengendarainya, pasti senag sekali rasanya. “Ah, itu tak mungkin” Ucap ku reflek .Ternyata Habib belum juga datang,. Aku khawatir padanya. Mungkinkah ia mengantar adiknya sekolah dulu? Ataukah dia ketiduran karena semalam ia lembur bekerja. Terlihat diseberang jalan terlihat anak kecil yang terjauth dan kakinya tersangkut di selokan. Ia menjerit dan menangis.Kulihat tadi orang tuanya pergi sebentar untuk membelikan sesuatu tapi sekarang anak itu sendirian. “Kasihan sekali anak itu” hanya itu yang terucap di bibirku. Aku ingin sekali menolongnya tapi biarlah. Mungkin ada orang lain yang menolongnya. Dan ternyata benar, ada seorang perempuan berumur tiga puluhan menolong anak itu dan menghiburnya. Aku merasa malu pada diriku ini tapi apa boleh buat. Aku memang orang yang seperti ini. Tak usah menolong anak itu toh ada orang lain yang menolongnya. Kulihat jam tanganku dan kulihat kanan-kiri, mungkin Habib sudah datang tapi aku heran sekali kenapa Habib sangat telat hari ini. Biasanya ia selalu tepat waktu dan jarang sekali ia telat seperti ini.Hatiku mulai tak terjaga tapi aku mencoba untuk manjaga hatiku agar tidak kotor karena berprasangka buruk. Aku tak sengaja teringat Syair Jagalah Hati ciptaan Abdullah Gymnastiar. Jagalah hati jangan kau kotori,jagalah hati lentera hidup ini. Sekelumit Syair yang mengingatkanku akan pentingnya menjaga hati. Tak lama kemudian ada orang yang duduk disampingku. Ia bukan Habib temanku melainkan orang lain yang sekedar duduk. Aku mengira-ngira bahwa orang itu berumur empat puluh tahunan, wajahnya tampak bersahabat dan memasyarakat. Aku merasa canggung untuk berkenalan dengannya tapi jika kita berkenalan apa salahnya? Itung-itung menjalin Silaturahim. Aku sedikit grogi ketika ingin mengajaknya bicara tapi perasaan takut ini hilang ketika kuingat bahwa sesama Muslim kita harus menjalin Silaturahim. Tanpa rasa canggung, aku langsung menoleh kearahnya “Pak….” Belum selesai ku berbicara, orang itu pergi meninggalkanku. Mungkin ia terburu-buru. Aku mencoba berpikir positif tapi meski seperti itu, aku sebenarnya merasa kurang sreg dan sakit hati dikit.Maklum saja namanya juga manusia. Ketika kita di campakan atau tidak dianggap seseorang pasti merasakan hal yang sama kecuali orang-orang yang berpikir positif. Ternyata Syetan itu pintar sekali, ia merasuki pikiran seseorang hingga hati ini kotor dan tak terjaga. “ Ya Allah jagalah hatiku” Aku berdo’a dalam hati. Hampir setengah jam, Habib belum juga datang. Lalu ada orang lain yang duduk disampingku lagi tapi kali ini ia lebih muda. Aku mengira-ngira jika umur anak itu masih belasan tahun. Ia menoleh kearahku sambil tersenyum. “Ah, rasanya berbeda sekali jika dibandingkan orang yang tadi” tak sengaja aku membanding-bandingkan orang yang tadi dengan yang sekarang disampingku. “Lagi nunggu Pak?” Pemuda itu bertanya padaku. “Ya,aku sedang menunggu teman” Jujur saja aku salut dengannya. Lalu ia mendekat padaku. “Mau ini” Ia menyodorkan tiga permen karet untukku. “Terima kasih” Aku menerimanya dengan senang hati. Jarang-jarang ada pemuda sebaik dia. “Mau nunggu juga?” Aku gantian menanyainya. “Nggak, saya disini ingin melepas penat saja” Jawabnya santai. “Masih sekolah?” “Ya, sekarang kelas 3 SMA” “Sebentar lagi Ujian Nasional, kok nggak belajar?” Tanyaku. “kalau belajar terus nanti Stress pak, ibarat komputer 200 jam nggak dimatikan” “Ohh.. semoga aja sukses nantinya” “Amin.”Ucapnya mantap. Aku memakan permen pemberiannya dan tak sengaja aku bertanya lagi masalah permen itu. Ketika kutanya, ia dengan semangat menjawab bahwa permen ini adalah pengganti rokok anak muda sekarang. Aku lagi-lagi salut dengannya karena tidak merokok. Untuk lebih akrab lagi, aku tanyai apakah sudah punya apa belum dan ia malu untuk menjawabnya tapi kurasa ia sudah punya pacar. Dan itu tercermin jelas di wajahnya.Tak terasa aku sudah setengah jam lebih aku menunggu si Habib. Dan terlihat dari kejauhan aku melihatnya berlari kearahku. Aku tersenyum padanya tapi wajah si Habib tampak gelisah. Saat ia sudah datang didepan mataku ia meminta maaf atas keterlambatannya. “Maaf Mas.. tadi ngantarkan ibu ke pasar” Ucap si Habib dengan nafas terengah-engah. “Nggak apa-apa kok” Jawabku tenang. “Teman bapak?” Tanya pemuda itu padaku. “Namanya Habib” Aku saja sampai lupa menanyai namanya. Repot juga jika terlanjur mengobrol sampai identitas saja tak tahu. Akhirnya kuperkenalkan diriku dan pemuda itu memperkenalkan dirinya. Sudah saatnya aku pergi bersama Habib. Aku berpamitan pada pemuda itu. lalu Habib menggendongku. Ya, aku ini tak memliki kaki seperti orang kebanyakan. Kedua kakiku diamputasi karena luka yang cukup serius. Aku setiap hari mengandalkan Habib. Tanpa dia aku tak berdaya bahkan jika tanpanya aku malah ngesot. Repot juga jika tak memiliki kaki. Aku teringat orang yang tadi meninggalkanku, mungkin ia menganggapku seperti pengemis hingga ia pergi meninggalkanku. Kulambaikan tangan kearah pemuda itu dan ia membalasnya dengan penuh keceriaan.Aku tak menyangka ternyata masih ada orang yang berkenalan denganku. Aku pikir aku ini sudah dicampakan selama-lamanya. Aku juga sering dianggap seperti pengemis, tidak hanya tadi saja. Tapi kadang ketika aku duduk-duduk atau istirahat, ada juga yang melempari uang kearahku. Aku tak terima jika aku dianggap pengemis. Mungkin pakaianku yang lusuh ini ataukah kecacatan ku ini? Hmm, tapi memang inilah aku. Seandainya aku memiliki kaki, pasti akan kutolong anak yang tersangkut diselokan tadi. Melihat orang-orang yang terkadang menghinaku baik secara langsung atau tak langsung. Aku menilainya bahwa kebanyakan orang itu bergaul memilih-milih. Mereka tak sudi ketika disampingnya ada orang seperti pengemis ini. Mereka mungkin merasa jijik dengan orang yang mirip sampah ini. Aku heran mengapa mereka seperti itu? apakah Rasullah SAW dulu mengajarkan kita untuk menjauhi orang-orang yang kumal dan cacat seperti aku ini? Tapi Allah masih sayang padaku. Ia memberiku hidup dan teman, meski hanya Habib dan Pemuda itu barusan.